Identical Twins — 130.

Your heart knows the way. Run in that direction.

– RUMI -


Beberapa ranting yang sempat menggundul di depan asrama Taehyung kini sudah mulai ditumbuhi oleh kuncup dedaunan. Mungkin dalam beberapa hari lagi mereka akan segera mekar. Meski udara tetap terasa dingin, setidaknya tidak akan turun salju. Udara tidak lagi membuat hidungnya terasa membeku. Artinya..., musim semi benar-benar datang, mari kita ucapkan selamat tinggal pada musim dingin. Taehyung tidak perlu kerepotan lagi dengan kacamata berembun atau kontak lensa yang gampang kering di udara dingin.

Para mahasiswa sudah kembali ke asrama, karena semester baru sudah dimulai. Kini gedung asrama Taehyung tidak lagi seperti bangunan tanpa penghuni. Beberapa adik tingkatnya yang sempat absen menyapa Taehyung saat liburan musim dingin sudah kembali lagi. Membungkuk hormat dan tersenyum ramah pada Taehyung yang berdiri di depan gedung asramanya seorang diri.

Kakinya kanannya dia main-mainkan dengan lantai keramik di bawah sana, senyuman di wajahnya merekah. Suara dentuman lantai yang dengan sengaja bertabrakan dengan sol sepatunya menemani Taehyung selama beberapa saat. Hati Taehyung gembira menanti-nanti sosok yang sebentar lagi akan tiba di depan gedung asrama.

Taehyung tidak bisa tidur sampai pukul dua belas malam, hanya karena sibuk memilih baju apa yang akan dia pakai hari ini. Hari ini adalah kencan keduanya bersama dengan Jungkook. Art Museum dan Jeon Jungkook merupakan sebuah perpaduan kencan yang sempurna. Baik Jungkook ataupun museum seni, keduanya adalah kombinasi yang dapat menyenangkan hati dan mata Taehyung. Membuat anak itu sulit untuk memalingkan pandangannya barang sebentar, berani jamin kalau hal ini bisa dipastikan validitasnya.

Selang beberapa menit mobil sedan Jungkook berhenti tepat di depan asrama Taehyung. Kegiatan memainkan kaki pada lantai seketika terhenti. Anak itu memekik girang, membuat Jungkook yang baru saja menurunkan kaca jendelanya tertawa akan aksi lucu Taehyung.

“Kookie, engga perlu turun! Aku langsung naik mobil, ya?”

Wah, coba lihat siapa yang semangat sekali dan tidak sabar memulai kencan hari ini? Tentu keduanya, dong!

Taehyung langsung mengambil langkah besar, berjalan menuju ke arah pintu penumpang depan mobil Jungkook. Pipinya yang sedikit gembil itu memerah ketika bersentuhan langsung dengan udara dingin. Menimbulkan efek merah muda alami pada wajahnya, semakin menambah keindahan di wajahnya. Entah itu efek dari udara dingin atau mungkin juga karena dirinya telah banyak tersenyum, bahkan jauh sebelum Jungkook sampai untuk menjemputnya.

Jungkook terkesiap selama beberapa detik ketika Taehyung sudah duduk dengan manis di kursi sebelahnya. Pria manis itu sibuk memasangkan sabuk pengaman miliknya, menunduk dengan lucu dan serius sekali. Hari ini keningnya dia biarkan terekspos karena baret berwarna hitam yang dia gunakan. Wajah indahnya dibiarkan terbingkai oleh kacamata, alih-alih menggunakan kontak lensa.

Jungkook tersenyum kecil. Menikmati pemandangan indah yang dia dapatkan di hadapannya. Perpaduan kening Taehyung yang dibiarkan terekspos, kacamata lucu dan sentuhan warna merah muda pada pipinya membuat Taehyung yang sempurna menjadi dobel sempurna. Mata Jungkook bahkan tidak bisa beralih untuk menatap ke arah lain, karena keindahan Taehyung sudah mengunci pandangannya. Hingga akhirnya Taehyung menoleh ke arah Jungkook, membuat jantungnya berdebar tidak karuan saat mata mereka berdua bertemu tanpa sengaja. Mata besar Taehyung yang menatap polos tepat ke arah bola mata Jungkook.

“Kamu udah siap buat kencan hari ini?”

Sebentar, Taehyung sudah tahu kalau hari ini adalah hari 'kencan' mereka berdua. Namun entah mengapa rasanya masih mendebarkan saja ketika mendengar kata-kata itu langsung dari bibir Jungkook. Rasanya jantung Taehyung dibuat salto berkali-kali karenanya. Hanya karena perkataan ataupun tindakan sederhana seorang Jeon Jungkook. . . .


. . . Kumho Museum of Art. Sebuah gedung berwarna krem keabu-abuan yang terletak di seberang komplek Gyeongbokgung palace. Sekadar informasi saja, Gyeongbokgung palace sendiri merupakan istana terbesar dinasti Joseon yang terletak di sebelah utara kota Seoul, makanya istana ini sering disebut sebagai The Northern Palace.

Rencananya, hari ini Jungkook akan mengajak Taehyung mengunjungi Kumho Museum of Art. Kemudian berjalan-jalan di sekitar Gyeongbok palace, menyusuri jalan setapak di Jongno-gu. Membiarkan mobil Jungkook terparkir rapih dan aman di dekat museum untuk berjalan kaki bersama mencari kafe terdekat. Jungkook dan Taehyung mungkin akan menikmati hari di awal musim semi terindah untuk mereka berdua.

Taehyung berhenti melangkah ketika gedung berwarna krem keabuan itu sudah berada beberapa langkah di hadapannya. Gedung Kumho Museum of Art berbentuk persegi dengan sebagian besar dinding yang sengaja didesain model kamprot, kemudian membentuk persegi panjang kecil—menyerupai batu bata putih. Tidak ada banyak kaca yang menghiasi gedung itu, kecuali di bagian paling atas dan di pintu masuk museum. Sisanya, desain gedung didominasi oleh dinding kamprot saja—yang memberi kesan minimalis.

Entah kenapa Jungkook lebih memilih museum ini jika dibandingkan dengan museum lainnya, mungkin karena tidak begitu ramai pengunjung di akhir pekan? entahlah.

Taehyung melompat-lompat kecil, kegirangan dan sungguh tidak sabar untuk segera masuk menerobos pintu kaca di hadapannya. Tangannya diayunkan, meminta Jungkook untuk segera menyusul langkahnya dan mereka bisa masuk bersama.

“Kookie, ayoooo.” teriak Taehyung yang tidak sabaran.

Jungkook tertawa kecil, namun tetap buru-buru melangkah mendekat ke arah Taehyung.

“Lihat coba siapa yang dari tadi engga bisa nahan sabar, haha.”

Pipi Taehyung menggembung, pura-pura sebal karena ledekan dari Jungkook. Namun aksi pura-pura sebalnya tidak bertahan lama, karena Jungkook sudah keburu menarik tangannya dengan halus, menggenggam tangan Taehyung dan menuntun anak itu masuk ke dalam gedung Kumho Museum of Art. Jungkook membiarkan tangan keduanya tertaut, tanpa memikirkan kondisi jantung Taehyung yang kini serasa habis keliling lima puluh putaran lapangan bola.

Entah sudah berapa kali jantungnya dibuat bekerja berlebihan, padahal ini belum ada satu jam dari saat mereka bertemu di depan asrama Taehyung. Efek jantungnya yang berdebar berlebihan itu juga berpengaruh pada tangannya yang kini basah. Telapak tangan Taehyung mengeluarkan sedikit keringat dan sensasi dingin. Malu sekali kalau Jungkook sampai sadar efek yang ditimbulkan ketika tangan mereka bertautan seperti sekarang.

Namun Jungkook tidak melepaskan tautan pada tangan mereka. Tidak peduli sebasah dan sedingin apa rasanya telapak tangan Taehyung yang digenggam. Karena tangannya sudah begitu nyaman menyatu dengan milik Taehyung.

Jungkook menghentikan langkahnya di depan karya dari Lee Joohwa. Dua lukisan yang tergantung pada salah satu sisi dinding di dalam sana. Kedua lukisan itu berdampingan dengan cantik, mampu membuat kedua pria dengan tangan bertautan itu berhenti sejenak. Mulut Taehyung terbuka, kemudian kepala anak itu mengangguk-angguk. Kagum dengan lukisan langit dan pantai yang begitu indah.

Jungkook selalu memiliki bayang-bayang ini dalam benaknya ketika dia memiliki kekasih; kencan di pinggir pantai, menikmati matahari terbenam sembari berjalan menyusuri bibir pantai yang dibasahi oleh ombak-ombak kecil.

Melihat lukisan itu dalam kondisi Taehyung di sebelahnya dan tangan mereka yang saling menggenggam, membuat Jungkook menggali lagi ingatannya tentang keinginan kencan itu. Jungkook membayangkan mereka berdua menyusuri bibir pantai dengan kaki telanjang, meninggalkan jejak kaki mereka sebelum ombak kembali menyapu bersih pasir yang basah. Bercerita tentang hari mereka yang indah, kemudian Taehyung akan memekik girang saat matahari mulai terbenam di ufuk barat Korea Selatan.

“Indah, ya? Padahal gambarnya sederhana.” kata Taehyung, memecah keheningan yang terjadi sejak mereka memasuki gedung. Menyadarkan Jungkook juga dari fantasinya yang begitu jauh tadi.

Kepala Jungkook menoleh ke arah Taehyung yang masih menatap lurus lukisan di hadapannya. Anak itu masih terkagum-kagum dengan indahnya gradasi warna biru langit dan lautan pada lukisan itu. Sedangkan Jungkook tersenyum, terpana dengan keindahan wajah Taehyung dari samping. Kemudian Jungkook menjawab, “Iya, memang indah.”

Taehyung memang indah. Dalam keadaan apa pun dan di mana pun. Taehyung terlihat indah, meski keningnya bercucuran keringat setiap kali dia berlari menuju gedung fakultasnya. Taehyung terlihat indah, meski matanya terpejam dan bibirnya sedikit terbuka saat dia ketiduran di perpustakaan. Taehyung terlihat indah saat pipinya dihiasi oleh semburat kemerahan setiap kali pria itu malu. Taehyung terlihat indah dengan atau tanpa adanya kacamata yang menghiasi wajahnya. Jungkook akan selalu berkata kalau Taehyung itu indah dalam keadaan apa pun.

Duh. Kalau belum ada status resmi saja sudah membuat Jungkook mabuk akan Kim Taehyung, bagaimana nanti saat Taehyung resmi menjadi kekasihnya?

Setelah berkutat dengan kegiatannya—mari menikmati keindahan Taehyung—selama beberapa saat, akhirnya mereka melanjutkan langkah menuju sisi lain gedung. Kemudian langkah mereka akan berhenti pada karya-karya lainnya. Ada sedikit diskusi kecil di antara mereka berdua, namun bukan hal yang serius. Tangan keduanya masih nyaman menggenggam satu sama lain, melupakan getaran hebat dalam dadanya yang sempat membuat keringat dingin tadi.

Jungkook sesekali akan melepaskan genggaman tangannya pada tangan Taehyung. Namun hal itu terjadi hanya karena dirinya ingin mengabadikan keindahan Taehyung yang mampu disandingkan dengan seluruh karya di museum itu. Saat dirinya sudah selesai mengambil beberapa gambar Taehyung dalam ponselnya, tangannya akan kembali menarik tangan Taehyung. Menggenggam tangan itu dengan lembut, tanpa ada paksaan karena Taehyung membiarkannya—juga menikmatinya.

Mereka menghabiskan waktu cukup lama. Sampai akhirnya jam menunjukkan pukul 04:51, saat mereka berjalan keluar dari gedung Kumho Museum of Art. Jalanan sudah mulai ramai, banyak kendaraan dan pejalan kaki yang berlalu lalang. Jalanan di depan yang membelah antara museum dan komplek Gyeongbok palace bukanlah jalan raya besar, tapi tetap terlihat cukup ramai. Mungkin karena hari ini adalah akhir pekan?

Jungkook dan Taehyung berjalan, meninggalkan gedung museum Kumho yang sudah berada beberapa meter di belakang sana. Melewati mobil Jungkook yang terparkir di sebelah museum dan lebih memilih untuk berjalan kaki tanpa arah. Semilir angin di sore awal musim semi menyapa keduanya, menemani langkah mereka menyusuri Jongno-gu berdampingan.

Sesekali tangan keduanya yang terbebas—tanpa saling menggenggam—akan bertabrakan. Mengalirkan sengatan aneh dan membuat Taehyung kaget setiap kali mereka bersentuhan. Bukankah lebih baik kalau kedua tangan itu saling menggenggam lagi? supaya Taehyung tidak perlu kaget dan tangan mereka tidak akan bersenggolan tanpa sengaja lagi.

Ya, tentu saja harus begitu.

Jungkook juga sudah pasti memiliki inisiatif yang begitu tinggi. Dia genggam tangan Taehyung begitu saja, tanpa permisi ataupun aba-aba agar Taehyung bisa menyiapkan hati dan jantungnya. Jungkook melakukan itu dengan halus, meski tanpa bicara. Membuat Taehyung harus memalingkan wajahnya ke arah lain, karena malu dan kini pipinya terasa memanas.

Kedua pasang kaki itu berjalan beriringan. Melewati gedung-gedung di sekeliling mereka, melewati beberapa kendaraan yang berjalan di jalan raya. Gwanghwamun gate berada di sisi kanan Jungkook dan Taehyung, namun keduanya tetap berjalan melewati gerbang itu. Mungkin hari ini tujuan mereka bukan berkencan di dalam istana peninggalan Joseon itu. Bukan juga national palace meseum of Korea yang berada tepat di belakang mereka saat ini. Keduanya berhenti, menunggu lampu merah pejalan kaki berganti warna menjadi hijau untuk kemudian menyeberang.

Jungkook sedikit menyesali keputusannya meninggalkan mobil di tempat tadi. Karena ternyata tempat tujuannya dengan Taehyung berada cukup jauh—lebih jauh—dari yang mereka duga. Dipikir, mereka hanya perlu menyeberang dari komplek istana Gyeongbok. Namun nyatanya mereka masih perlu berjalan beberapa ratus meter lagi, memasuki gang-gang menuju pemukiman warga hingga akhirnya plang bertuliskan tempat tujuan mereka terlihat.

PreSeason, kafe yang membuat Jungkook dan Taehyung cukup berjalan jauh sore itu. Bangunan berwarna krem dengan sebuah kanopi berwarna putih yang melindungi bagian teras lantai satu kafe, menambah kesan unik dari bangunan yang tidak begitu besar itu. Meski sempat menyesal tidak membawa mobilnya, Jungkook juga bersyukur. Karena keputusan bodohnya itu membuat mereka memiliki waktu yang cukup panjang untuk berjalan, mengobrol sembari bergandengan tangan. Sudah dibilang kalau hari ini mungkin akan menjadi hari terindah di awal musim semi untuk kedua anak itu, kan?

Taehyung memesan minuman soda dengan campuran buah stoberi, sedangkan Jungkook memesan iced americano. Hari ini Taehyung ingin sedikit nakal dengan memesan minuman bersoda. Tidak ada salahnya bukan asal tidak diminum berlebihan? ya, tentu saja.

Jungkook sudah memperingatkan anak itu, ngeri kalau nanti perut anak itu akan melilit karena bandel dan nekat meminum minuman besoda. Namun Taehyung menjawab, “Engga ih, aku baik-baik aja. Udah lama juga aku ga bandel minum soda, Kookie.”

Kalau sudah begitu Jungkook bisa berbuat apa selain mengiyakan keinginan Taehyung?

Mereka menghabiskan sisa hari mereka di PreSeason. Mengambil tempat duduk bagian sofa dekat dengan jendela. Mengobrol, menikmati pemandangan matahari terbenam—menyelip dari balik-balik bangunan di sekeliling kafe itu. Hingga akhirnya langit menggelap. . . .


. . . Kalau kegiatan menunggu mendapat bayaran atau gaji, mungkin Jeongguk sudah menjadi orang terkaya sedunia. Karena masa mudanya banyak dihabiskan dengan kegiatan menunggu itu.

Jeongguk yang selama bertahun-tahun menunggu dan menyukai Taehyung dalam diam. Jeongguk yang dibuat menunggu Taehyung di depan pintu gerbang rumahnya. Kemudian beberapa kali dibuat Taehyung menunggu di depan pintu lobi asramanya. Kini Jeongguk kembali dibuat menunggu. Menunggu Taehyung yang entah pukul berapa akan pulang dari kencannya bersama dengan adik kembar Jeongguk.

Tidak ada jawaban dari Taehyung sedari sore. Membuat Jeongguk memantapkan hati untuk mengambil langkah nekat, menunggu Taehyung di depan asramanya. Tidak peduli dengan udara dingin yang masih menyelimuti malam di awal musim semi ini. Sesekali Jeongguk menyalakan penghangat di dalam mobilnya, kemudian dia akan berjalan-jalan sedikit di halaman asrama Taehyung.

Berkali-kali matanya memeriksa notifikasi di ponselnya. Namun masih belum ada jawaban dari Taehyung. Entah anak itu terlalu menikmati waktunya bersama dengan Jungkook atau memang sengaja tidak membalas pesan Jeongguk.

Namun kalau boleh, Jeongguk berharap ada kemungkinan lain di luar dari dua hal itu. Misalnya; notifikasi ponsel Taehyung rusak dan pesan Jeongguk tidak masuk. Atau, ponsel Taehyung kehabisan daya sehingga tidak bisa membalas pesannya.

Pukul 08:15 Jeongguk melihat mobil sedan adiknya memasuki parkiran asrama Taehyung. Mobil yang begitu familier itu berhenti tepat di depan lobi, disusul oleh kehadiran adiknya yang hendak membukakan pintu Taehyung. Seyuman Jungkook yang teduh, tatapan malu-malu Taehyung, entah mengapa membuat hatinya teriris. Sakit dan perih sekali, seperti seseorang sedang menggores benda tajam pada hatinya.

Jeongguk memberanikan diri untuk mengirim Taehyung pesan sekali lagi. Harap-harap cemas, bagaimana kalau pria manis itu mengabaikan pesannya lagi?

Taehyung merogoh saku coat-nya, kemudian menatap layar ponselnya beberapa detik. Jeongguk tidak bisa melihat ekspresi pria itu dengan jelas, karena kepalanya tertunduk dan sedikit terhalangi oleh punggung adiknya yang cukup lebar.

Namun tidak lama ada sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. . . from: Kim Tae

Kamu gila, ya? Kalau aku engga bales tuh jangan ditungguin, Jeongguk. Kamu di mana sekarang? . . Dilihat Kim Taehyung masih berdiri di teras depan pintu lobi asramanya. Tangannya melambai pada mobil Jungkook yang terlihat mulai meninggalkan komplek asrama Taehyung. Hingga akhirnya mata mereka bertemu.

Taehyung berjalan, menghampiri Jeongguk yang tadinya bersandar pada kap mesin mobilnya. Jeongguk kemudian ikut mengambil langkah, mendekat ke arah Taehyung. Hingga akhirnya mereka bertemu di tengah. Ada sedikit ekspresi kesal pada wajah Taehyung, Jeongguk bisa melihat itu dengan jelas.

“Kamu tuh ya. Aku ga sempat meriksa handphone sama sekali, kalau misalnya aku ga lihat chat kamu sampai besok pagi gimana?” Taehyung marah. Ada rasa tidak enak di sana, karena dirinya baru membaca pesan Jeongguk saat sampai di asrama.

“Kan ujungnya lo baca chat dari gua, Kim. Gimana kencannya sama Jungkook?” tanya Jeongguk, mencoba baik-baik saja. Seakan-akan sayatan di hatinya itu tidak akan terasa lagi jika dia berpura-pura okay, nyatanya tidak.

Taehyung menghela napasnya, kemudian menatap mata Jeongguk.

“Jeongguk, aku engga ngerti deh niat kamu begini karena apa. Tapi, please, jangan buat aku bingung.” Jeongguk sudah membuka mulutya, ingin bertanya lebih lanjut maksud dari perkataan Taehyung. Namun jari telunjuk Taehyung buru-buru ditempelkan oleh si pemilik pada bibir Jeongguk. Menyuruh pria itu diam dan mendengarkan perkataannya lebih dahulu.

“Sejujurnya, awalnya aku bingung banget. Ada satu cowok yang aku temuin di atap kampus waktu pesta tahun baru, dia nolongin aku nyari kacamata-ku di tengah-tengah gelapnya malam. Kamu tahu kan seberapa gelap atap kampus kita?”

Jeongguk tidak menjawab apa pun, membiarkan Taehyung untuk kembali melanjutkan kata-katanya.

“Mataku tuh burik, penglihatanku jelek banget tanpa bantuan kacamata dan contact lens. Ditambah pencahayaan yang minim di sana, aku jadi engga bisa lihat sama sekali muka cowok yang bantuin aku itu. Cuma satu yang ku denger waktu cowok itu pergi. Seseorang manggil namanya, singkat, entah itu Gguk atau Kook.”

Ah, Jeongguk mungkin bisa paham ke mana arah pembicaraan Taehyung saat ini.

“Beberapa hari kemudian takdir lucu banget nemuin aku sama Kookie. Akhirnya aku deket sama dia dalam waktu singkat, karena kami ternyata memang nyambung aja gitu ngobrolnya. Dalam hati aku berulang kali berharap, cowok itu Jungkook. Supaya aku engga pusing dengan perasaanku sendiri.”

Sakit, jangan dilanjutkan. Sampai sini saja rasanya sudah begitu sakit untuk Jeongguk.

“Tapi ternyata semesta engga membiarkan hidupku berjalan dengan mulus. Semua bukti-bukti dan kemungkinan mengarahnya bukan ke Jungkook, tapi malah ke kakak kembarnya Jeon Jeongguk. Aku pusing. Aku dibuat kepikiran lagi soal perasaanku ke cowok di atap itu. Aku sempat mikir kalau aku jatuh cinta sama suaranya, tapi engga bisa gitu. Aku..., aku egois banget kalau mikir kayak gitu dan buat kita bertiga kejebak di situasi aneh begini.” jeda sebentar, karena ternyata Taehyung sudah berbicara begitu panjang kali lebar. Membuat Jeongguk terbengong memikirkan ke arah mana pembicaraan ini selanjutnya. “Bentar, maksudnya gimana?” tanya Jeongguk bingung.

“Jeongguk, jangan buat aku bingung sama perasaanku sendiri. Please. Aku tahu kamu cowok di atap yang sempat bikin aku mikir jatuh cinta sama suara kamu, tapi aku lagi coba mantepin hatiku kalau aku cuma suka sama Jungkook aja.”

Aduh, sakiiit teman-teman. Sudah sakit, lalu dibuat bingung pula. Taehyung ini tidak kira-kira ya menyerang Jeongguk dengan dua hal itu. “Tapi, Kim Tae gua—” belum juga selesai itu perkataan Jeongguk, Taehyung keburu memotongnya. “—Aku engga mau dilema lagi. Aku pusing, Jeongguk.”

Masa bodoh dengan kalimat membingungkan Taehyung, karena hanya satu hal yang Jeongguk tangkap. “Kalau lo dilema berarti gua masih ada kesempatan, kan?” . . .


. . . Author's note:

Hallo! maafin akuuu, harusnya narasi ini dipost dua hari yang lalu. Tapi aku belum selesai ngetik dan malah ngerjain hal lain. Kemarin juga banyak bobo karena aku masih belum begitu sehat, huhuhu. Oh iya, narasi kali ini sedikiiiit lebih panjang dari biasanya. Sedikit doang siiih :p, xixixixi

Selamat membaca, manteman. Btw, semangat juga berpuasanya! tetap jaga kesehatan jangan lupa yaaaa~

All the Love, Bae