Identical Twins — 154.
Letting love go isn't easy as letting it in.
– Kafeel -
Jeongguk terlalu sibuk menerka-nerka apa yang akan terjadi saat Kim Taehyung sampai di rumahnya nanti.
Kali terakhir dia berbicara dengan Taehyung bukanlah waktu yang bagus. Mereka berakhir dengan keadaan canggung, meski Jeongguk berusaha untuk tetap biasa saja saat itu.
Kim Taehyung bahkan enggan untuk menatap matanya, dirinya pun begitu sulit untuk melihat mata cokelat indah milik Taehyung. Sulit sekali, karena dadanya tidak bisa berhenti nyeri. Bahkan hanya dengan membayangkan wajah indah itu saja dapat membuat sakit di dadanya kembali, apalagi saat mereka harus berhadapan langsung.
Sang Ibu dari tadi sibuk menunjukan rasa antusias untuk menyambut Taehyung di kediaman keluarga Jeon. Selama ini Ibu dari kedua kembar tahu sekali kalau Jeongguk sudah pernah beberapa kali menjalin hubungan dengan seseorang, namun berbeda dengan Jungkook. Anak itu tidak pernah sekali pun mengenalkan teman istimewa ke keluarga.
Tadi pagi Jungkook duduk di kursi belakang halaman rumah mereka. Menemani Ibunya yang sedang menikmati waktu minum teh seorang diri. Kakak kembarnya masih belum bangun, sedangkan Ayahnya sudah berangkat ke kantor. Entah mendapatkan keberanian dari mana, Jungkook tiba-tiba saja menceritakan tentang Kim Taehyung ke sang Ibu.
Manik mata Jungkook berbinar, tanda kalau anak itu memang sedang bahagia sekali. Jungkook berbicara panjang lebar, menceritakan hal-hal indah tentang Taehyung pada sang Ibu. Hati Ibunya menghangat melihat bagaimana anaknya itu merekam segala hal indah tentang Taehyung dan menceritakan ke orang lain. Anak itu bercerita dengan rasa dan cara yang bisa membuat orang ikut penasaran dan percaya akan keindahan Taehyung.
Anak bungsunya itu bahagia, karena Kim Taehyung. Sayangnya sang Ibu tidak tahu kalau anak sulungnya justru sedang merasakan sakit hati yang teramat dalam karena pria manis itu.
Tapi, tentu saja tidak ada yang bisa disalahkan di sini.
Meja makan yang bisa muat untuk delapan orang itu sudah ditata dengan rapih. Berbagai piring dan mangkuk lauk dengan motif vintage yang memberi kesan mewah juga sudah ditata di sana dengan berbagai lauk di atasnya. Jeongguk ingat cerita sang Ibu tentang piring-piring cantik itu. Beliau membeli piring itu saat perjalanan bisnis ke Wina beberapa belas tahun yang lalu. Jarang sekali piring-piring cantik itu digunakan, kecuali untuk hari-hari istimewa tertentu. Tentu, sang Ibu pasti merasa hari ini istimewa.
“Sayang, tolongin mama. Coba tanya itu adik kamu udah sampai mana sama Taehyung, keburu makanannya dingin nanti.”
Jeongguk menurut. Dia tidak lagi mengirim pesan, melainkan menelepon adik kembarnya. Saat diangkat, Jeongguk dapat mendengar suara tertawa Taehyung yang begitu renyah dan bahagia. Kemudian Jungkook izin ke Taehyung untuk mengangkat teleponnya terlebih dahulu.
Mereka pasti sedang begitu bahagia saat ini. Terdengar jelas dari bagaimana cara Taehyung tertawa entah hal apa yang membuat pria manis itu tertawa, juga lembutnya suara Jungkook saat dia berbicara pada Taehyung.
“Udah di mana, dek? si mama nanyain kalian terus nih. Takut makanannya keburu dingin juga.”
Jungkook menjawab dari seberang telepon, “Ini udah perempatan lampu merah depan bang. Lima menit lagi paling.”
“Oh, oke oke. Hati-hati kalian berdua.”
Setelah itu sambungan telepon Jeongguk putuskan. Dia tinggalkan sang Ibu yang masih sibuk menata berbagai macam makanan, seakan-akan yang datang ke rumah mereka malam ini adalah rombongan tamu presiden. Akhirnya Jeongguk izin untuk pergi ke ruang tengan, bergabung dengan Ayahnya yang sibuk menyesap kopi hangat dan menonton berita pada layar televisi.
Ayahnya masih fokus menatap layar televisi, tanpa menengok ke arah Jeongguk yang kini duduk tepat di sebelahnya. Mungkin pemberitaan politik negeri kini jauh lebih penting dibanding sikap anak sulungnya yang nampak aneh saat ini.
Jeongguk diam. Ikut memandang ke arah televisi, namun pikirannya tidak tertuju ke sana.
Sang Ayah akhirnya menoleh. Memperhatikan anaknya yang memandang kosong ke arah televisi. Tumben sekali anak itu bersikap seperti ini. Jeongguk itu memang sering sekali menjadi teman berdiskusi sang Ayah, karena wawasan umum anak itu cukup luas. Jeongguk suka membahas politik, sosial, budaya, segala hal dengan sang Ayah. Mereka beberapa kali berdebat di ruang tengah keluarga saat menonton tayangan berita bersama.
Namun anaknya kini diam. Anak itu memang lebih pendiam beberapa hari ini, seperti tidak ada semangat hidup. Tidak ada lagi ruang dan waktu untuk beradu argumen dengan sang Ayah di malam hari, ketika keduanya sudah selesai dari aktifitas di luar rumah.
“Kamu kenapa bang?” tanya sang Ayah saat menyadari ada sesuatu yang aneh dari anaknya.
Jeongguk tersadar, kemudian menggeleng untuk menjawab pertanyaan Ayahnya. Namun insting orangtua memang tidak bisa diragukan. Dia tahu kalau anaknya itu sedang banyak memikirkan suatu hal, ada banyak hal yang mengganggu pikirannya.
Cangkir kopi yang tadi dipegang oleh kepala keluarga Jeon itu kemudian diletakkan ke atas meja. Kemudian beliau menaruh seluruh perhatian pada sang anak. “Sini diskusi sama papa, mungkin papa bisa bantu. Kalau mama mah diajak diskusi makanan baru nyambung.”
Jeongguk langsung tertawa mendengar perkataan konyol Ayahnya. Begitulah beliau, Ayahnya memiliki dua sisi yang kemudian diturunkan pada anak-anaknya. Sifat usilnya itu diturunkan pada Jeongguk, sedangkan sifat serius dan suka menganalisa situasi diturunkan pada Jungkook.
“Iya, si mama lagi sibuk sama piring cantik Wina dan makanan. Padahal kita kan cuma berlima buat makan malam ini, pa. Haha.” jawab Jeongguk.
“Kamu kenapa bang? Ada yang mau didiskusiin sama papa engga?”
Jeongguk diam sebentar. Sebenarnya ada sebuah pemikiran konyol yang terbersit dalam benaknya saat semalaman dirinya tidak bisa tidur. Apa mungkin lebih baik dia mengambil keputusan nekat itu, ya?
“Kalau abang ngambil S2 ke London gimana pa?”
Ada sedikit ekspresi kaget pada wajah sang Ayah.
“Tiba-tiba banget? waktu itu Papa tawarin katanya mau langsung kerja dulu aja?” sang Ayah kembali bertanya.
“Engga tau, tiba-tiba kepikiran aja. Kayaknya seru kalau abang ngambil S2 ke London, mau ngerasain apa yang dulu sering Papa ceritain. Masa Papanya lulusan S2 Oxford University anaknya engga ada yang nerusin, haha.” Jeongguk berbohong soal alasannya.
Sang Ayah hanya mengangguk-angguk. Selama ini beliau membebaskan anak-anaknya memilih hal yang disukai, asal kedua anaknya itu bijak dan sungguh-sungguh dengan segala hal yang dilakukan.
“Coba dipikirin dulu mateng-mateng. Udah tau mau ngambil jurusan dan universitas mana? Persiapin dari sekarang, tapi jangan sampai ngeganggu skripsi dan waktu seneng-seneng sama temen. Oke?”
Jeongguk tersenyum dan mengangguk kecil. Kemudian dia memeluk tubuh Ayahnya dan mengatakan terima kasih. Membuat Ayahnya tertawa kencang karena kelakuannya yang terkadang masih seperti anak kecil itu.
Tak lama terdengar suara pintu gerbang yang terbuka dan suara mesin mobil dari garasi. Adik kembarnya sudah pulang, Jeongguk harus mempersiapkan hatinya untuk makan malam yang panjang ini.
. . .
. . .
Keluarga Jeon memang sering sekali menghabiskan waktu makan malamnya sembari mengobrol di ruang makan. Makanya tak jarang setiap si kembar berada di luar hingga malam, sang Ibu pasti bertanya apa anaknya akan bergabung untuk makan malam di rumah atau tidak.
Keluarga mereka hangat, transparan dan penuh kasih sayang. Ayah dan Ibunya menyayangi kedua anak kembar itu dengan setara, tidak ada yang lebih disayang atau kurang disayang. Bahkan dari kecil si kembar terbiasa saling melengkapi, seperti bertukar warna baju atau Jungkook yang selalu memakan daging ikan milik Jeongguk—karena kakaknya tidak bisa makan ikan.
Malam ini ruang makan keluarga mereka menjadi lebih ramai lagi karena kehadiran Taehyung. Meski sempat gugup dan takut, setelah melihat sambutan hangat dari keluarga sang pacar membuat Taehyung lega. Ditambah lagi, memang anak itu mudah akrab dengan orang lain. Jadi Taehyung bisa dengan mudahnya masuk ke dalam obrolan dan gurauan keluarga Jeon.
Terkadang obrolan diselingi dengan cerita masa kecil si kembar Jeon. Usilnya Jeongguk yang sering mengelabui banyak orang, mengaku-ngaku sebagai adiknya dan membuat orang lain percaya. Ada juga cerita tentang Jungkook yang hanya diam saja, tidak menangis atau mengeluh saat terjatuh dari sepeda. Anak kalem itu membuat orangtuanya kaget saat melihat lutut anaknya luka dan berdarah.
Taehyung bahagia sekali. Hatinya merasa senang, karena sambutan hangat dari keluarga Jungkook. Bahkan baru sekali bertemu saja Taehyung sudah dibuat merasa begitu dekat. Ibu dan Ayah pacarnya bahkan menyuruh Taehyung untuk sering-sering main ke rumah mereka. Taehyung ingin sekali, kalau dirinya tidak ingat ada Jeongguk yang juga tinggal di rumah itu.
Selama makan malam berlangsung, Taehyung bahkan tidak sedikit pun melirik ke arah tempat duduk Jeongguk. Taehyung tidak tahu apa pria itu melakukan hal yang sama atau bersikap biasa saja. Namun rasanya Taehyung masih belum bisa bersikap biasa saja. Rasanya masih begitu aneh. Aneh mengingat kalau dirinya sempat menolak pernyataan perasaan Jeongguk dan malah datang ke rumah pria itu, namun dengan status sebagai pacar adiknya. Taehyung juga bingung harus bersikap bagaimana ke pria itu.
“Oh iya, Taehyung katanya anak komunikasi juga? Berarti kenal sama Jeongguk dong? Atau Jeongguk yang ngenalin ke Jungkook?” sang Ibu bertanya, membuat Jeongguk tersedak minumannya.
Kali ini Taehyung tidak sengaja menoleh ke arah pria itu, membuat tatapan mata mereka bertemu beberapa saat. Lalu buru-buru dia alihkan pandangannya.
“Kita satu fakultas tapi beda konsentrasi ma, jadi engga saling kenal.” jawab Jeongguk pada akhirnya.
“Aku jurusan perfilman dan periklanan, Tante. Hehehe.”
“Tapi aku udah tau Taehyung lumayan lama, Ma. Dulu aku sering ngeliat dia lari ke gedung Fikom pagi-pagi kalau lagi gantiin Jeongguk masuk kelasnya.”
Taehyung melongo, karena baru mengetahui kenyataan ini. Begitu juga Jeongguk yang baru mengetahui hal itu. Berbeda dengan reaksi Taehyung, sang Ibu malah memberikan senyum jahilnya pada Jungkook dan Taehyung.
“Wah, jadi anak mama duluan yang naksir ceritanya? emang ya, jodoh tuh engga ke mana. Hahaha.”
Ibunya tidak tahu saja, kalau kedua anaknya sama-sama tertarik lebih dahulu pada pria manis itu. Faktanya juga Jeon Jeongguklah yang lebih dahulu menyukai Kim Taehyung. Tapi tentu saja, sang Ibu tidak akan pernah mengetahui kebenaran tersebut.
Berbeda dengan sang Ibu, Ayahnya justru kini lebih banyak diam dan menyimak. Beliau tersenyum, tertawa dan menimpali obrolan sesekali. Namun ada satu hal yang disadari olehnya, Jeongguk dan Taehyung nampak saling menghindar untuk menatap satu sama lain. Anak sulungnya yang biasanya cerewet dan banyak bicara tiba-tiba berubah menjadi tenang dan kaku. Namun beliau membiarkan makan malam berjalan tanpa ada kata atau pertanyaan yang menyinggung keduanya.
Pukul 09:00 Taehyung izin untuk pulang pada Ayah dan Ibu Jungkook. Tentu saja Jungkook bertanggung jawab untuk mengantar anak itu kembali ke asrama, meski Taehyung berkata akan naik bus atau taksi saja pada awalnya. Sang Ibu juga menyuruh anaknya untuk mengantar Taehyung pulang dengan selamat, jadi pada akhirnya Taehyung menyetujui untuk diantar pulang oleh Jungkook.
Piring-piring cantik dari Wina kesayangan Ibu si kembar sudah kembali tersimpan ke dalam kabinet dapur. Beliau juga sudah masuk ke kamar untuk bersiap-siap tidur. Ruang makan yang beberapa saat lalu terdengar ramai kini sudah sepi, tidak ada siapa pun di sana. Orang-orang sudah masuk ke dalam kamar masing-masing untuk beristirahat.
Namun tiba-tiba saja terdengar sebuah ketukan dari luar pintu kamar Jeongguk. Tumben sekali. Awalnya dia pikir kalau orang yang mengetuk adalah Jungkook, tapi tidak mungkin Jungkook sudah kembali dari mengantar Taehyung pulang ke asrama.
“Papa boleh masuk, bang?”
Betapa kagetnya Jeongguk ketika sadar suara siapa dari balik pintu kamarnya. Sang Ayah meminta izin untuk masuk ke kamarnya pada malam-malam begini.
“Iya, pa. Engga abang kunci kok, masuk aja.”
Ayahnya melihat Jeongguk hanya duduk di atas kasur sambil memainkan game online di ponselnya. Lampu kamar anaknya masih menyala dan tidak ada tanda-tanda kalau anak itu akan segera pergi tidur. Tentu saja, ini baru jam 9 malam. Jeongguk terbiasa tidur di tengah malam hingga menjelang pagi, karena akhir-akhir ini banyak hal yang mengusik pikirannya dan membuat sulit tidur,
“Lagi main game online?” tanya sang Ayah, kemudian duduk di pinggir kasur anaknya itu.
Jeongguk meletakkan ponselnya ke atas kasur. “Iya, tapi kalau papa mau ngobrol juga engga apa-apa. Udah selesai kok mainnya.”
“Soal S2 di London, itu beneran murni kemauan abang?”
Wah, apa Papanya tahu sesuatu sampai harus mendatangi Jeongguk ke kamarnya untuk bertanya hal ini?
“Iya, Pa. Kenapa emangnya, pa?”
“Bukan karena abang mau pergi jauh dan ngehindarin sesuatu, kan?”
Mampus, Jeongguk tidak tahu harus bereaksi apa saat ini. Harusnya Jeongguk tidak meremehkan kejelian dan cara berpikir sang Ayah yang mirip dengan adiknya. Mereka berdua sama-sama mengamati dalam diam.
“Kok Papa tiba-tiba nanya begitu? Pasti karena kemauan abang sendiri dong pa.”
Tapi Jeongguk berbohong.
“Bukan karena Kim Taehyung, hum?”
Jeongguk tidak mengantisipasi pertanyaan macam itu akan keluar dari mulut sang Ayah. Bagaimana bisa?
“Papa engga tahu sebenernya apa yang terjadi di antara kalian. Tapi Papa percaya dan yakin sama anak-anak Papa. Kalian berdua sudah dewasa, sudah tahu apa yang baik dan buruk buat diri kalian,” ada jeda sebentar dalam kalimat sang Ayah.
Jeongguk tidak bisa berkata-kata, tidak juga bisa membantah atau pura-pura bodoh saat ini.
“Tapi menurut Papa, lari dan kabur itu engga akan pernah nyelesaiin masalah. Kamu mau pergi sejauh apa pun juga engga akan mengubah apa pun. Jadi tolong dipikirin dulu yang mateng segala keputusannya, ya?”
Ayahnya tersenyum, kemudian mengusak rambut Jeongguk. Mau sebesar apa pun sang anak, orangtua akan selalu menganggap anak mereka adalah bayi. Begitu pula yang dilakukan oleh Ayah Jeongguk dan Jungkook. Beliau seakan lupa kalau kedua anak kembarnya itu kini sudah menjadi pria berumur dua tiga tahun.
“Masih ada waktu tiga bulan sampai sidang dan pengumuman kelulusan, kan?”
Setelah itu Ayahnya izin untuk kembali ke kamarnya. Meninggalkan Jeongguk yang pikirannya masih mengawang-awang entah berada di mana. . . .
. . .
All the Love, Bae.