begellataes

Identical Twins — 108

Back to the stars. Perhaps i'll find you there.

d.j


31 Desember 2020.

Saat itu salju menghujani kota Seoul hampir seharian penuh. Membuat jalanan, atap gedung, rumah, juga halaman dipenuhi dengan tumpukan salju. Udara di luar malam itu bisa dipastikan di bawah nol derajat celcius. Bukankah lebih baik kalau kita berdiam diri di rumah dan sembunyi di balik selimut tebal yang hangat?

Ya, itulah yang pria itu inginkan. Namun rencana membuat dirinya hangat di malam tahun baru sepertinya harus gagal dia realisasikan saat ini. Karena saudara kembar dan teman-temannya sudah terlanjur menggeret paksa pria itu untuk ikut hadir dalam pesta tahun baru di kampus mereka.

Orang gila mana yang mengadakan pesta di tengah udara dingin dan setelah hampir seharian hujan salju?

Ya, mereka teman-teman satu kampusnya. Katakanlah mereka semua gila. Tapi yang namanya anak muda itu memiliki moto seperti ini: You only live once.

Kim Mingyu, salah satu temannya itu kukuh sekali kalau mereka harus menghabiskan malam tahun baru di akhir perkuliahan dengan berpesta. Senang-senang, menikmati masa muda yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Tapi konsep senang-senangnya bukan begitu, bukan dengan berpesta dan berada di ruangan pengap yang begitu bising.

“Sumpah, kalau kalian aneh-aneh gue langsung balik, ya?” kata pria itu.

Pada akhirnya mobil sedannya tetap sampai di parkiran dekat aula serba guna kampusnya. Pada akhirnya, dia ikut masuk ke dalam ruangan besar itu. Pencahayaan di sana kurang begitu bagus, seisi ruangan juga dipenuhi oleh gema musik yang luar biasa kencang. Dirinya sampai harus berteriak untuk bisa berbicara pada teman-temannya.

“Gila, penuh banget. Udah kayak pasar ikan.” kata Wonwoo, salah satu temannya.

Memang benar. Untuk bisa bergerak dengan bebas saja rasanya tidak mungkin. Setiap kali pria itu bergeser, sudah pasti badannya bersenggolan dengan orang lain di dalam ruangan itu.

Semua temannya sudah berpencar. Mengobrol dengan beberapa orang yang sepertinya teman satu fakultas atau satu UKM mereka. Kini dia bingung harus melakukan apa. Padahal teman-temannya itu yang memaksa dia untuk ikut, namun kini dirinya ditinggalkan sendirian di aula yang penuh dengan manusia ini.

Tahu begini akhirnya mah lebih baik dia tetap di rumah saja tadi. Beristirahat atau menonton netflix sampai jelang pagi. Tentu pilihan yang lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi yang dia alami saat ini—kebingungan di tengah kerumunan orang.

Semuanya sibuk menari dan menikmati irama musik dengan tempo cepat. Beberapa orang juga sibuk mondar-mandir mengambil minuman dan makanan yang disediakan. Pria itu akhirnya memutuskan untuk ke berjalan ke sisi ujung ruangan, mencari tempat yang paling sepi yang bisa dia temukan. Namun sayangnya, seorang wanita tidak sengaja menabrak tubuh tingginya dan menumpahkan segelas orange juice ke kemejanya.

Wanita itu meminta maaf berkali-kali dan dia pun berkata tidak apa-apa. Meski bergitu, elaan napasnya begitu berat. Kakinya melangkah ke luar ruangan, berjalan menuju mobilnya di tengah-tengah udara dingin. Dia buka pintu belakang mobil, lalu mengambil hoodie tebal berwarna abu-abu di sana. Itu milik kakak kembarnya, Jeon Jeongguk.

Ya, pria yang dari tadi pusing terjebak di pesta tahun baru kampusnya adalah Jeon Jungkook.

Dia benci udara dingin. Dia benci sekali dan selalu bermusuhan dengan udara dingin. Tubuhnya sensitif dan mudah terkena flu, tapi kakinya kini malah melangkah menuju tangga. Bukannya kembali ke aula tapi Jungkook malah memilik pergi ke atap kampusnya.

“Haah. Akhirnya, ga berisik.” keluh Jungkook, namun sekaligus lega.

Dirinya kini bisa bernapas lega tanpa harus pusing mendengar suara musik yang terlalu kencang. Tidak perlu pusing juga melihat orang yang berlalu-lalang atau sibuk menari. Awas saja Jeongguk, Mingyu, Wonwoo dan Eunwoo, akan Jungkook pukul kepala mereka dengan buku pengantar Psikologi yang selalu dia simpan di bagasi mobil.

Dia masukan satu bungkus hotpack ke dalam salah satu saku hoodie-nya. Kemdian badannya bersandar pada sisi tembok di sebelah pintu masuk. Dia pasangkan earpods pada kedua telinganya, kemudian Jungkook larut dalam lagu-lagu tenang yang mengalun dari ponselnya itu. Kemudian karena kaki dan punggungnya terasa pegal, Jungkook memutuskan untuk duduk sebentar.

Hidungnya sudah merah dan terasa sakit sekali. Dingin, benar-benar dinging. Suara Jungkook pasti bisa dipastikan menghilang saat dirinya sedang kedinginan seperti ini. Tapi pria itu masih enggan untuk kembali ke aula. Memang dasar keras kepala!

Tidak lama kemudian, waktu berharga Jungkook dengan dirinya sendiri di atap diinterupsi oleh kehadiran seseorang. Pria manis yang nyaris terlihat cantik, pria itu sibuk mengusap-usap badannya dengan hot pack. Namun Jungkook tetap diam, membiarkan pria manis itu mengganggu waktu menyendirinya yang tenang. Jungkook menikmati posisi ini. Dia melihat punggung dan tubuh Taehyung yang indah dari belakang.

Dia si pria manis itu, ya?

Jungkook bertanya dalam hati. Namun senyumnya mengembang.

Pria manis yang seding dia lihat berlari memasuki lobi Fikom setiap pagi. Lalu pria manis yang beberapa kali tertidur di meja belajar perpustakaan umum ketika sehabis kelas malam.

Entah kapan tepatnya pertama kali Jungkook bertemu dengan pria manis itu. Mungkin saat di perpustakaan pusat ketika sang dosen menyuruh Jungkook untuk merangkum materi yang belum pernah di bahas pada pertemuan kelas. Bisa juga saat tidak sengaja melewati fikom dan hampir setiap hari melihat pria manis itu berlari terburu-buru masuk ke gedung Fikom.

Rambutnya cokelat gelap dan terlihat halus. Jungkook belum pernah melihat warna mata pria itu dengan jelas, namun dia yakin kalau warna matanya senada dengan warna rambutnya. Tahu tidak kenapa Jungkook tidak pernah keberatan bertukar posisi dan dengan senang hati menghandiri kelas pagi Jeongguk?

Ya tentu demi bertemu dengan pria manis itu dong alian Kim Taehyung.

Identical Twins — 108.

Back to the stars. Perhaps i'll find you there.

d.j


31 Desember 2020. Saat salju turun dan membuat seluruh halaman kampus dihiasi oleh tumpukan warna putih. Saat udara di luar begitu dingin, namun aula

Identical Twins – 107.

I wonder, How much love in this world Hides behind silence?

-The Random Stories-


Pertemuan pertama Jeon Jeongguk dan Kim Taehyung. Kelas Pengantar Ilmu Sosial, 2018.

Kelas pengantar ilmu sosial, selalu menjadi kelas yang paling malas Jeongguk hadiri. Harusnya saat pengisian jadwal dirinya bisa mendapatkan seluruh kelas di siang hari, jadinya Jeongguk tidak perlu repot-repot bangun pagi seperti ini.

Namun semuanya sudah terlambat. Jeongguk harus menghadiri kelas pagi yang dia benci selama satu semester ke depan. Semua karena kebodohannya yang terlambat mengisi KRS di awal semester ini.

Kelas pengantar ilmu sosial merupakan salah satu mata kuliah umum yang wajib diambil oleh para mahasiswa baru. Jadi jangan ditanya ada berapa banyak mahasiswa yang menghadiri kelas pagi itu. Mungkin jumlahnya hampir seratus orang.

Ruangan kelas yang digunakan merupakan sebuah aula besar dengan susunan meja yang bertingkat menyerupai anak tangga. Kira-kira ada tujuh baris atau tujuh level meja di dalam kelas itu. Jeongguk selalu mengambil baris kedua atau ketiga dari belangkang, karena dirinya tidak mau ketahuan mengantuk selama jam perkuliahan berlangsung.

Sebagian besar waktu di kelas Jeongguk habiskan untuk menguap dan berusaha keras agar matanya tidak terpejam. Suasana kelas yang terlalu ramai dan para mahasiswa yang silih berganti mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaan dosen, seolah-olah kalau dia bisa menjawab dengan benar saat itu dirinya sudah pasti lulus mata kuliahnya.

Bosan sekali, padahal ini baru minggu ketiga perkuliahan. Secara teknis minggu pertama dirinya tidak datang terlambat.

Mingyu—sahabatnya itu—dari tadi sibuk menyenggol lengan Jeongguk dengan sikutnya, memastikan kalau temannya tidak tertidur. Bisa-bisa dosen mereka menyuruh anak itu keluar dan menandainya sepanjang semester.

Dosennya di depan sana sedang menjelaskan tentang disiplin ilmu sosial, kebetulan minggu ketiga ini antropologi yang menjadi pembahasan utama. Harusnya ini merupakan mata kuliah yang menyenangkan, kalau saja Jeongguk tidak dikuasai oleh rasa kantuknya itu.

Matanya masih terasa lengket sekali, seperti seseorang sengaja dengan sadisnya menempelkan lem aibon agar kedua kelopak matanya tertutup rapat. Dirinya sudah berada di ambang antara rasa kantuk dan kesadaran yang hanya tersisa 15%. Hingga akhirnya ada satu mahasiswa yang menarik perhatian semua orang di dalam ruangan besar itu.

Ketika kondisi sedang hening-heningnya pria manis itu berdiri dan mengangkat tangannya. Membuat seluruh pandangan tertuju hanya padanya. Sang dosen membetulkan posisi kacamatanya dan bertanya dengan ramah. “Ya, ada apa?”

“A-ah, prof. Saya Kim Taehyung, angkatan 2017, cuma mau izin ke toilet soalnya saya kebelet pipis sekali ini.”

Seisi kelas yang berisikan hampir seratus orang itu dibuat tertawa oleh tingkah Taehyung yang konyol namun menggemaskan. Membuat mata Jeongguk yang tadinya terasa berat dan lengket langsung otomatis terbuka. Dia lihat pria berambut cokelat terang itu sedikit berlari keluar dari ruangan kelas, belum juga sempat Jeongguk melihat wajahnya.

Setelah itu rasa kantuk Jeongguk tidak datang lagi. Matanya jauh lebih segar jika dibandingkan dengan beberapa menit yang lalu. Kini segala omongan sang dosen akhirnya bisa masuk ke dalam kepalanya dengan bena. Sudah lebih dari setengah jam perkuliahan dimulai, namun ilmu di kelas itu terasa sia-sia karena rasa kantuknya.

Ingatkan Jeongguk untuk mampir ke starbucks dan membeli segelas hot americano dulu ya di kelas selanjutnya.

Seisi kelas masih fokus pada dosen mereka sedang menjelaskan berbagai jenis makhluk primata. Lalu bagaimana manusia berevolusi dahulu kala. Mirip seperti pelajaran sejarah di saat dirinya SMP dan SMA dulu, Jeongguk sudah sering mendengar pembahasan ini.

Sebenarnya mata kuliah ini asik dan membosankan di saat yang bersamaan. Membosankan karena kita sudah sering mendengar dan mempelajari beberapa hal yang mencangkup di dalamnya: seperti sejarah manusia sebagai contoh. Namun cara penyampaian dan penjelasan dari sang dosen yang kelewat asik membuat seluruh mahasiswa terhipnotis dan dengan serius menyimak kalimat demi kalimat yang dikatakan oleh sang dosen.

Lalu tak lama si pria berambut cokelat terang itu kembali. Kali ini dia menunduk permisi dan meminta maaf kepada beberapa orang karena kembali menginterupsi sesi penjelasan dari dosen mereka yang menyenangkan itu.

Ternyata begitu rupanya dia, si pria dengan suara berat namun terdengar manis. Ternyata wajahnya tak kalah manis dengan suaranya, membuat Jeongguk mengangkat sedikit sudut bibirnya. Kemudian matanya kembali beralih pada sang dosen yang sedang berbicara di atas podiumnya. . . .


. . .

Taehyung selalu duduk di barisan kedua dari depan dan Jeongguk selalu mengambil tempat duduk kedua dari belakang. Ada jarak tiga baris meja yang menghalangi posisi keduanya. Namun hal itu tidak menghalangi Jeongguk untuk bisa leluasa memandangi wajah pria manis dan lucu itu.

Pagi ini Jeongguk menyempatkan diri untuk pergi ke starbucks dan memesan iced americano double shot terlebih dahulu. Bisa dipastikan matanya pagi ini akan terjaga dari rasa berat yang disebabkan oleh kantuk. Ternyata dirinya sudah belajar dari yang sudah-sudah, kalau matanya memang begitu lemah jika dipaksa untuk menghadiri kelas pagi.

Laptop di hadapannya terbuka dan menyala, tapi matanya terus menerus memandangi pria bernama Kim Taehyung itu. Rambutnya terlihat halus dan lembut meski dicat berwarna cokelat terang. Padahal Jeongguk terhalang jarak beberapa meter, namun dirinya bisa memastikan hal itu. Lucu sekali, sih!

Dilihat si pria bernama Taehyung itu kini sedang mengangguk-angguk lucu dan kembali fokus pada dosen di depan sana.

Suara sang dosen yang sedang membahas Paleontologi hari ini terasa begitu kecil—hampir berbisik. Semua hal yang dijelaskan kini benar-benar tidak masuk ke dalam kepala Jeongguk, karena orang yang bersangkutan sedang sibuk senyum-senyum sendiri memandangi Taehyung.

Pria lucu itu mengangkat tangannya, bertanya sesuatu ke sang dosen. Namun Jeongguk tidak bisa mendengar dengan jelas apa kalimat pertanyaan yang diajukan Taehyung. Yang jelas, suaranya tetap terdengar manis.

Beginilah kalau sedang jatuh cinta. Manusia bisa menjadi bodoh dan tidak sadar akan sekelilingnya.

Kim Mingyu sedari tadi hanya bisa menggeleng keheranan melihat teman dekatnya sedari SMA yang sedang senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Ada angin apa Jeongguk sampai senyum-senyum kecil seperti itu?

Namun rasa heran itu hilang ketika dia mengikuti arah pandang Jeongguk.

Ah, pantesan.

Mingyu tidak jadi heran. Soalnya dia tahu kalau Kim Taehyung salah satu mahasiswa baru yang masuk ke angket maba tertampan sekaligus tercantik di kampus. Banyak kakak tingkat laki-laki maupun perempuan yang mengelu-elukan keindahannya. Jadilah dia biarkan saja Jeongguk memandangi Taehyung sepanjang jam perkuliahan.

Rasanya dua setengah jam terasa begitu singkat bagi Jeongguk. Padahal yang dia lakukan sepanjang di kelas hanya memandangi Taehyung saja. Boro-boro mendengar penjelasan dosennya, pemberitahuan kuis pertama minggu depan saja Jeongguk tidak mendengarkan.

Duh, padahal hanya memandangi Taehyung dari belakang. Tapi kenapa rasanya waktu begitu singat dan cepat berjalannya?

Sejak saat itu, Jeongguk menjadi semangat menghadiri kelas pengantar ilmu sosial yang begitu ramai. Jeongguk jadi semakin sering memperhatikan Taehyung dari belakang setiap kali anak itu berbicara dan mengutarakan pendapatnya. Bahkan Jeongguk masih memperhatikan Taehyung saat dia sibuk mengobrol dengan teman pirangnya yang beberapa senti lebih pendek dibanding Taehyung. Namanya Park Jimin.

. . .


. . .

Awalnya Jeongguk pikir kalau dirinya hanya suka menyadari eksistensi Kim Taehyung dalam ruangan yang sama dengannya saja. Awalnya Jeongguk pikir dirinya hanya suka memandangi Taehyung karena terkadang kelas terasa begitu membosankan. Awalnya Jeongguk pikir, saat semester ini berakhir dia tidak akan kecanduan memandangi Kim Taehyung lagi.

Namun kenyataannya tidak sejalan dengan apa yang Jeongguk pikirkan. Dia malah merasa bosan karena tidak ada jadwal yang sama dengan Taehyung di semester tiga. Kemudian dia mengetahui kenyataan pahit lainnya: ternyata Taehyung mengambil konsentrasi yang berbeda, yaitu perfilman.

Kini rasanya semakin kecil saja kemungkinan Jeongguk bertemu dengan pria lucu itu di kelas yang sama. Ya, meskipun masih ada beberapa mata kuliah umum yang bisa diambil oleh jurusan campuran. Tetap saja, belum tentu Taehyung mengambil mata kuliah yang sama dengan dirinya, huh.

Jadi, sekarang bagaimana dirinya bisa melihat Kim Taehyung lagi, ya?

Wah, caranya mudah kok. Tinggal hampiri ke ruang UKM radio kampus saja. Kalau misalnya terlalu malu untuk menghampiri, Jeongguk bisa berdiam diri di lounge lobby fakultas mereka. Di sana disediakan sebuah TV yang menayangkan UKM radio ataupun TV kampus.

Nah, kebetulan Taehyung akan menjadi penyiar tamu di radio kampus mereka selama dua minggu. Bukankah ini kesempatan Jeongguk?

Tentu saja. Tanpa diberi tahu bocah itu sudah mengetahuinya terlebih dahulu. Jadi kerjaan Jeongguk setiap kali jam makan siang ya duduk di lobi sambil memandangi TV yang menampilkan Kim Taehyung di sana. Taehyung yang saat itu mengambil alih sesi 'Putarkan lagu untuk seseorang yang kamu sukai!'.

Jeongguk tidak pernah absen barang sehari saja untuk menyaksikan siaran Taehyung itu. Setiap Mingyu atau adik kembarnya si Jungkook mengajak untuk makan siang bersama, dia selalu saja beralasan ini dan itu. Hanya demi bisa menyaksikan siaran Taehyung dengan tenang, tanpa perlu malu ketahuan oleh orang lain.

Padahal berani jamin kalau orang lain yang melihat dirinya saat ini pasti bisa menyadari sesuatu. Menyadari kalau Jeongguk itu mengagumi penyiar manis yang sedang menghiasi layar TV lobi. Jelas saja, senyuman Jeongguk tidak luntur sedikit pun sepanjang sesi siaran Taehyung, kurang jelas apa lagi?

Sampai suatu hari dia memberanikan untuk mengirim pesan anonim pada tim penyiaran di kampus mereka. Isinya adalah sebuah permintaan Jeongguk untuk memutarkan sebuah lagu yang manis untuk Kim Taehyung.

Hei, penyiar Kim. Aku selalu dengar siaran kamu di siang hari hampir dua minggu ini. Terima kasih ya udah ngisi waktu luangku. Rasanya berat banget setelah ini gaada siaran kamu lagi. Sehat selalu ya, Kim Taehyung. Kalau boleh aku mau request lagu My Love dari westlife. Lagu ini buat kamu, hehe.

Jeongguk melihatnya langsung, di sana Kim Taehyung sedang tersenyum malu membaca pesan darinya.

Namun tingkat keberanian Jeongguk ya hanya mentok di situ saja. Bahkan setelah dia mengirim pesan dan lagu manis itu, tidak ada lagi kelanjutan dari keseriusan akan perasaannya.

Jeongguk tetap mengagumi Taehyung dalam diam. Karena rasanya lebih nyaman begitu. Melihat dan memandangi Kim Taehyung dari kejauhan, dirinya bisa leluasa tersenyum tanpa takut Taehyung memergoki dirinya.

Ah, cemen sekali kamu Ggukie.

Bahkan untuk sekadar menyapa Kim Taehyung saja lidahnya kelu. Tidak bisa bergerak dan mengucapkan sepatah kata pun. Setiap kali Taehyung berjarak kurang dari sepuluh meter dari tempatnya berdiri, Jeongguk langsung buru-buru ngacir dan berusaha untuk tidak terlihat.

Entah kenapa dia bisa menjadi pengecut seperti itu jika berhadapan dengan Kim Taehyung. Padahal pria itu hampir tidak menyadari eksistensi Jeongguk di muka bumi ini.

Namun itu tidak pernah menjadi masalah untuk Jeongguk, karena dirinya merasa ini cukup.

Di tahun ketiga perkuliahan ketika keduanya memasuki semester ke-lima, Jeongguk semakin jarang melihat Taehyung. Anak itu sudah tidak begitu aktif di kegiatan non-akademik, jadwal kelas mereka juga sepertinya tidak ada yang sama. Saat itu Jeongguk mulai merasa ada yang aneh dengan perasaannya.

Sebelumnya dia merasa segalanya cukup jika dia menjadi pengagum Kim Taehyung dalam diam. Karena, toh, mereka masih satu fakultas dan akan sering bertemu. Namun ternyata dirinya merasa ada yang kurang. Beberapa bulan itu terasa begitu kosong dan berat untuk Jeongguk. Soalnya dia hampir tidak pernah melihat si pria lucu itu lagi.

Ke mana ya perginya Taehyung? . . .


. . .

Pada semester enam dirinya kembali dipertemukan dengan Kim Taehyung di kelas umum Etika dan Filsafat Komunikasi. Kim Taehyung kini nampak berbeda, karena rambutnya sudah dicat menjadi lebih terang alias blonde. Jeongguk dibuat melongo ketika pertama kali melihat pria itu memasuki kelas dengan wajah lucunya dan rambut terang yang semakin membuat dia menonjol di antara yang lainnya.

Taehyung beberapa kali membungkuk dan menyapa mahasiswa lain yang dikenal olehnya. Mereka bercengkrama sebentar, lalu Taehyung izin untuk mencari tempat duduk yang masih kosong.

Dulu biasanya selalu ada Park Jimin di samping pria itu. Membuat Jeongguk sempat salah paham dengan hubungan keduanya, karena mereka terlalu nyaman berada di dekat satu sama lain. Namun akhirnya Jeongguk mengetahui kalau Jimin ya hanya sahabatnya saja. Tapi, kok Park Jimin belum terlihat batang hidungnya, ya?

Kemudian tak lama orang yang baru saja dibicarakan itu datang juga. Jimin terlihat bertukar warna rambut dengan Taehyung—rambutnya menjadi lebih gelap. Matanya sempat menangkap kehadiran Jeongguk di barisan paling belakang dan pria itu sibuk memandangi sahabatnya.

Hmm, mencurigakan sekali. Ini bukan kali pertama Jimin memergoki Jeongguk mencuri-curi pandang setiap kali mereka berpapasan, lho!

Tolong ingatkan Jeongguk kalau dirinya tidak ingin ketahuan, maka dia harus pandai menahan dirinya sendiri juga. Berhenti memandangi Kim Taehyung seperti itu, bisa-bisa matanya copot karena memandangi Taehyung tanpa berkedip.

Acara memandangi Kim Taehyung terpaksa dihentikan ketika Mingyu kini sudah datang dan duduk di sebelah Jeongguk. Dia menyenggol lengan Jeongguk, meminta perhatian temannya itu yang sibuk dengan dunianya sendiri: Kim Taehyung.

“Gguk, gue lagi sakit mata nih. Mau pindah ke meja agak depan ga?” tanya Mingyu sambil menunjuk dua kursi kosong di sebelah Taehyung.

Mata Jeongguk langsung melotot ketika sadar ke mana arah jari telunjuk Mingyu tersebut. Buru-buru dia menjawab dengan gugup dan salah tingkah karena takut si Mingyu sadar apa yang sedang dilakukan oleh Jeongguk tadi. “E-engga, gua di sini aja! Gua ga suka barisan paling depan.”

Jeongguk tetap saja begitu meski kini sudah berlalu dan dirinya sudah melewati tiga tahun mengagumi Taehyung diam-diam. Sampai akhirnya dia mengetahui kalau adik kembarnya, Jeon Jungkook, yang entah dari mana mengenal pria lucu itu.

Hingga akhirnya dirinya sadar kalau takdir mempermainkan kedua pria kembar itu. Mereka sama-sama jatuh cinta pada Kim Taehyung si pria manis yang lucu. Keduanya sudah terjerat pada pesona Taehyung dan tidak bisa menemukan jalan keluar dari sana. Mereka terjebak.

Sudah tidak ada lagi jalan untuk mundur. Namun Jeongguk masih enggan untuk melangkah maju. Karena dirinya takut terluka, dirinya takut berekspektasi, dirinya takut kalau Taehyung memang sudah menentukan pilihannya. Jeongguk kalah sebelum memulai perjuangannya.

. . .


. . . Author's Note:

Selamat pagi manteman, selamat sahur juga untuk kalian yang berpuasa! Xixixi, setelah ini aku akan reveal kejadian lengkap di atap kampus dari sudut pandang si cowok yea. Jadi kira-kira dugaan Taehyung kalau itu Jeongguk bener ga yaaaa? hahaha, sampai nanti lagi!

All the Love, Bae.

Identical Twins – 101

Gumusservi (n.) moonlight shining on the water.


. . .

Jimin menggeret Taehyung keluar dari pertokoan. Tangan kirinya repot menenteng kado untuk sang mama, lalu tangan kanannya dibuat untuk menggeret Taehyung.

Matanya menelusuri seluruh sudut lantai di mall ini. Mencari-cari tempat mana yang tepat agar dia bisa mendengar cerita Taehyung secara detail. Dari tadi sahabatnya itu terlalu banyak mengulur waktu, membuat Jimin gemas dan tidak bisa menahan rasa sabarnya lagi.

“Nanti ya, Chim. Habis kamu selesai nyari kado untuk mama-mu.” “Chim, gimana kalau beri satu set alat masak?” “Aduh, Chim aku kebelet pipis nih.”

Padahalkan tinggal cerita saja sembari mereka mengitari beberapa toko tadi. Tapi sahabatnya itu pakai segala acara malu-malu untuk cerita. Padahal ini kan Jimin, orang yang paling tahu hal A-Z yang dimiliki Taehyung.

Kaki mereka berjalan mengitari bangunan besar berwarna putih itu. Selama hampir sepuluh menit hanya perbutar-putar di dalam Hyundai Department Store yang berada di Gangnam-gu, tanpa punya tempat spesifik untuk dikunjungi. Karena awalnya mereka hanya ingin pergi mencari kado untuk Ibunya Jimin saja.

Perut Taehyung keroncongan, tapi tujuan mereka masih belum jelas. Jimin masih mengoceh panjang lebar tentang bagaimana Taehyung yang terlalu mengulur waktu untuk bercerita. Membuat kepala Taehyung pening dan laparnya semakin terasa.

“Jim, ngomelnya bisa ditunda dulu? Aku belum sarapan tau, ini udah jam makan siang pula.” rengek Taehyung.

Baiklah, sahabatnya itu akhirnya luluh. Acara marah-marahnya Jimin tunda dulu sebentar. Lalu kini dia menarik Taehyung untuk memasuki tempat makan siap saji yang bernama 'Le Freak'.

Mereka duduk di kursi paling pojok. Sengaja agar menyendiri dan jauh dari orang-orang, sehingga mereka bisa memiliki privasi untuk berbicara.

Taehyung sudah bahagia dengan kehadiran chicken burger di hadapannya. Lalu anak itu langsung melahap makanannya tanpa peduli kalau Jimin masih menunggu Taehyung untuk mulai bercerita.

Sabar ya, Jim. Biarkan Taehyung mengunyah makananya yang lezat itu. Kamu memangnya tidak kasihan melihat sahabatmu seperti anak kucing yang tidak diberi makan tiga hari seperti itu?

Akhirnya Jimin membiarkan Taehyung sibuk dan bahagia dengan makanannya. Lalu dirinya juga mulai menyantap menu yang sama dengan yang Taehyung beli.

“Jadi apa yang ga kamu ceritain kemarin?” tanya Jimin.

Taehyung mengangkat kepalanya, setelah selama beberapa menit sibuk menunduk untuk menyuapkan makanannya. Kini dia taruh burger berharga itu di piring. Kemudian dia menyesap minumnya, karena tiba-tiba tenggorokannya terasa kering sekali.

“Jungkook bilang suka sama aku..”

Jimin melongo. Harusnya dia tidak kaget, karena memang Jimin sudah tahu bahwa Jeon Jungkook salah satu orang yang jatuh pada pesona sahabatnya. Tapi ini semua di luar ekspektasinya. Dia pikir kalau Jungkook itu tipikal pria yang akan malu-malu untuk mengungkapkan perasaannya, justru Jeongguk yang Jimin kira akan mengatakannya terlebih dahulu.

Mau Jeongguk mengelak dan Taehyung buta akan kenyataan juga Jimin tetap tahu apa yang terjadi. Jimin beberapa kali memergoki Jeon Jeongguk menatap Taehyung tanpa berkedip sama sekali saat di kelas mata kuliah umum. Padahal posisinya saat itu mereka tidak saling kenal—belum berkenalan secara resmi.

Tapi Jimin akan tetap mendukung keputusan sahabatnya. Karena pada akhirnya Taehyung yang memiliki perasaannya. Taehyung yang berhak menentukan siapa orang yang bisa membuatnya bahagia.

“Terus kamu jawab apa? Jadi dia nembak kamu gitu?” tanya Jimin.

Taehyung mengangguk cepat.

Kemudian Jimin bisa melihat senyuman mengembang pada wajah sahabatnya. Taehyung tersenyum, membayangkan kembali rasa deg-degan yang membuat bahagia ketika ingat kalimat yang Jungkook katakan hari itu.

“Aku belum jawab iya atau engga. Kata Jungkook, aku bisa jawab waktu aku yakin sama perasaanku ke dia.” jawab Taehyung.

“Kamu udah yakin sama perasaanmu ke dia? Terus soal Jeongguk yang sempet buat kamu bingung gimana? Dia kan cowok yang di atap kampus kata kamu.”

Taehyung menggeleng. Dia sendiri pun sebenarnya belum bisa memahami perasaannya. Bukan dia ragu di antara Jeongguk atau Jungkook. Bukan itu. Taehyung kini sudah yakin, kalau dia tidak menyukai Jeongguk seperti bagaimana dia menyukai adik kembar pria itu. Yang membuatnya bingung itu adalah perihal waktu. Apa dirinya dan Jungkook tidak terlalu gegabah dan terburu-buru untuk menyatakan perasaan semacam itu?

“Aku suka sama Jungkook. Cuma rasanya pertemuan kami masih terlalu singkat, aku butuh banyak waktu untuk bisa lebih ngenal dia.”

“Taehyung, mau pertemuannya singkat, lama, itu semua ga ngaruh. Namanya perasaan tuh ga bisa dipatokin dari berapa lama waktu yang kamu habisin sama dia. Kalau kamu ngerasa nyaman sama dia, kenapa engga?”

Taehyung terdiam. Merenungi perkataan Jimin yang memang ada benarnya. Taehyung sebenarnya mempersulit perasaannya sendiri, nantinya malah akan membuat dirinya bingung. Padahal sebenarnya segala hal bisa dia lalui dengan cara yang mudah, namun dia buat sulit dengan segala pemikiran-pemikirannya.

Dia mengelak, dia berkata kalau dirinya tidak menyukai Jeongguk. Tapi kenapa beberapa waktu lalu dia dibuat bingung juga oleh sikap dan perkataan Jeongguk?

Apa Taehyung masih membiarkan sisi naifnya mengontrol dirinya?

Pikiran naifnya perihal jatuh cinta pada suara seseorang di atap pada malam tahun baru.

Burger di hadapannya sudah sepenuhnya terlupakan oleh Taehyung. Coke yang tadi dingin juga sudah terasa sama dengan suhu ruang. Nafsu makannya hilang, kini tergantikan dengan pertanyaan yang selama beberapa hari ini dia tolak untuk diambil pusing.

Sebenarnya bagaimana perasaanku ini?

Pikiran Taehyung itu rumit. Begitu rumit.

Ah, pantas saja selama ini kamu tidak pernah berpacaran Taehyung. Mau puluhan orang mengantri juga semuanya akan hilang pada akhirnya, karena kamu sering sekali membuat rumit suatu hal.

“Jimin, kalau kamu terus-terusan nanya begini aku jadi pusing tau. Nanti kalau aku ragu, gimana?” tanya Taehyung.

“Ya berarti kamu belum siap.” jawab Jimin enteng.

Setelah itu Jimin bisa melanjutkan makannya kembali. Sembari sesekali mengalihkan topik pembicaraan mereka, karena kini Taehyung terlihat lebih murung. Senyuman lebar tadi tidak lagi menghiasi wajah tampan sekaligus lucu miliknya. Kini malah kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan ke arah bawah.

“Ih, Taetae, maafin aku. Aku buat kamu pusing, ya? Ya udah gausah dipikirin. Tadi katanya mau kencan sama Jungkook habis ini, masa cemberut begitu?”

Jimin mencolek dagu Taehyung berkali-kali, agar sahabatnya bisa tersenyum lagi.

“Hih, iya iyaaa. Duh, omong-omong soal kencan... Jim aku jadi deg-degan lagi kalau inget iiiih.”

. . .


. . .

Jimin dan Taehyung berpisah di depan Hyundai Department Store Gangnam-gu. Jimin pergi ke stasiun Sanseong di seberang jalan, sedangkan Taehyung pergi ke Starbucks yang hanya perlu berjalan kaki beberapa meter saja dari tempatnya berada.

Awalnya Jungkook ingin menghampiri Taehyung ke dalam mall, namun anak itu buru-buru mencegah. Bisa gawat kalau Jungkook bertemu dengan Jimin secara langsung. Hal yang terjadi selanjutnya sudah pasti segala aib Taehyung akan dibongkar oleh sahabatnya itu. Bisa malu seumur hidup nanti Taehyung.

Jungkook dan dirinya kan masih dalam masa pendekatan. Taehyung harus jaga image dan tidak banyak bertingkah.

Padahal dari awal mereka berkenalan anak itu sudah sering sekali mempermalukan dirinya. Dia sendiri yang berkata kalau tidak apa-apa menjadi badut untuk membuat Jungkook senang dan tertawa. Namun sepertinya dia dibuat lupa oleh sensasi jantung berdebar hebat yang ditimbulkan oleh Jungkook akhir-akhir ini.

Ada sebuah bunyi decitan pintu dan lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk Starbucks, membuat Jungkook yang duduk tak jauh dari pintu masuk menoleh. Senyumannya otomatis mengembang ketika melihat Taehyung berjalan menghampiri tempatnya duduk.

“Kamu udah pesenin minuman?” tanya Taehyung ketika matanya melihat ada dua gelas minuman di atas meja. Dia buka jaket luarannya, lalu digantungkan pada kursi yang dia duduki.

Jungkook mengangguk. Tangannya menyodorkan segelas iced vanilla cream, kesukaan Taehyung. Ternyata Jungkook mengingat omongan Taehyung perihal minuman kesukaannya. Taehyung tidak begitu suka kopi, karena memiliki masalah dengan lambung dan sulit tidur di malam hari. Sedangkan Jungkook memesan iced americano untuk dirinya sendiri.

“Kamu waktu itu bilang ga terlalu suka kopi, kan? Lebih suka minuman vanilla haha.” jawab Jungkook.

“Kookie...” Taehyung tidak melanjutkan kalimatnya. Hatinya menghangat, ada sebuah desiran familier yang sering timbul ketika dirinya sedang berada di dekat Jungkook atau pria itu melakukan sesuatu yang manis pada Taehyung.

Taehyung suka bagaimana Jungkook mengingat detail kecil tentang Taehyung. Mengingat apa saja hal yang pernah mereka obrolkan bersama. Kalau begini, bagaimana bisa Taehyung tidak jatuh juga pada pesona Jungkook yang manis?

Jungkook masih tersenyum. Lalu bertanya, “Aku kenapa, hum?”

Tamatlah riwayat Taehyung. Cara bicara Jungkook begitu lembut, tapi ada yang beda dari suaranya hari ini. Terdengar lebih bindeng dan serak. Jungkook juga berbicara dengan Taehyung menggunakan tone suara yang lebih rendah dari biasanya.

“Kamu lagi flu?” Taehyung bertanya balik.

Jungkook tertawa dan mengangguk. Membenarkan pertanyaan Taehyung tadi.

“Kok kamu tau?”

“Suara kamu bindeng, terus juga serek.” jawab Taehyung.

“Hahaha, iya. Aku sering begini kalau kena udara dingin. Gampang kena flu dan bisa sembuh agak lama. Terakhir kali waktu pesta malam tahun baru, aku hampir seminggu kena flu.”

Pesta malam tahun baru katanya.

Jadi Jungkook juga dateng ke acara itu?

Namun Taehyung menolak untuk bertanya lebih lanjut lagi. Dirinya langsung menyibukkan diri dengan menyesap minuman yang sudah dipesankan Jungkook.

Matanya terpejam, lalu kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Menandakan kalau dirinya senang dengan minuman kesukaannya itu. Membuat Jungkook harus menahan gemas melihat tingkah laku pria dewasa yang tetap terlihat menggemaskan itu.

“Hari ini ingin ke mana?” tanya Taehyung semangat.

. . .


. . .

Jungkook memarkirkan mobilnya tak jauh dari sungai yang berjarak beberapa meter di depan mereka.

Matahari sudah terbenam sejak beberapa jam yang lalu. Langit sudah tidak lagi berwarna biru terang, melainkan gelap. Lampu jalanan, lampu taman dan lampu gedung-gedung pencakar langit kini sudah menyala, menggantikan peran matahari untuk memberi cahaya di bumi pada malam hari.

Taehyung keluar dari mobil Jungkook dengan riang. Jungkook pun ikut menyusul pria manis itu untuk keluar dari mobilnya. Keduanya bersandar pada kap mesim mobil, menikmati pantulan cahaya kota dari genangan air sungai yang tenang. Kelap-kelip dari lampu kota tarpantul cantik di atas air, membuat Taehyung tersenyum.

“Hah, indah banget. Udah lama aku pengin nikmatin suasana kota begini, tapi skripsi emang nyita waktu belakangan ini.” kata Taehyung.

Jungkook mengangguk mengerti. “Kamu seneng?”

“Jelaslaah. Makasih ya untuk hari ini, Kookie.”

“Hari ini kan belum berakhir, Tae. Hahaha. Ucapin makasihnya waktu aku anterin kamu pulang ke dorm aja, okay?”

Sejak siang menghabiskan waktu mengelilingi kota Seoul. Dari satu tempat ke tempat yang lain, minum vanilla cream di Starbucks. Membeli makanan Birdie dan Yeontan, lalu membelikan kalung sepasang untuk kedua anak bulu itu. Berjam-jam di kafe puppies meski yang dipesan oleh Taehyung adalah jus stroberi, yang penting dirinya senang bisa bermain dengan anak-anak anjing. Lalu membeli es krim dan churros. Sampai pada akhirnya mereka berakhir di pinggir sungai Han malam ini.

Taehyung menikmati waktu ini. Di mana rasa dingin dari angin yang bertubrukan dengan kulitnya tersamar oleh rasa hangat di pipi. Tangannya dia sandarkan pada kap mobil, lalu Taehyung sedikit tersentak oleh sengatan rasa dingin. Jungkook yang melihat itu langsung tertawa dan mengambil tangan Taehyung itu.

“Sini, dia sembunyiin di sini aja biar ga kedinginan.” kata Jungkook. Lalu tangan Taehyung dituntun untuk masuk ke dalam saku jaketnya yang hangat. Tidak, Jungkook tidak menggenggam tangannya Taehyung. Dia juga masih tahu diri dan batasan. Jadinya hanya tangan kiri Taehyung saja yang menjadi penghuni saku jaket Jungkook.

Semburat merah pada pipi Taehyung sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Kini Taehyung hanya bisa menunduk malu, namun menikmati momen manis antara dirinya dan Jungkook. Hanya ada mereka berdua di tepi sungai dengan mobil Jungkook yang terparkir.

Hanya ada Jungkook, Taehyung dan pantulan cahaya bulan yang menghiasi sungai Han. Terang dan cantik, bulan malam ini bersinar sempurna. Meski hanya pantulannya saja yang dapat Taehyung lihat saat ini.

Taehyung malu dan deg-degan, jadinya hanya bisa menunduk atau memandang lurus ke arah sungai. Dia tidak berani menatap mata Jungkook, ngeri kalau nanti benar-benar bisa terkena serangan jantung.

Saat Jungkook sudah menaiki anak tangga menuju lantai paling atas dari sebuah gedung tinggi, Jeongguk bahkan belum mengambil langkah untuk anak tangga pertama di paling bawah. Bukankah itu artinya Jeongguk sudah kalah telak?

. . .


Author's note:

Hallo, manteman! Maafkan aku yea kalau ada banyak typo, biasalaaah. Aku dan typo sudah satu paket!

Aku kayaknya bakal update banyak narasi di cerita ini. Kalian pribadi suka baca banyak narasi ga sih? Terus biasanya suka yang di bawah 2k words atau gimana? hehehe. Aku mau buat lebih panjang takut kalian bosan, huhuhu. Feel free buat ngasih saran ke aku ya guys pokoknya~

Btw, aku sekarang lagi sering banget update subuh-subuh wkwkwk. Dah, sekian curhat dari aku. Sampai nanti!

All the Love, Bae.

Identical Twins – 100

Gumusservi (n.) moonlight shining on the water.


. . .

Jimin menggeret Taehyung keluar dari pertokoan. Tangan kirinya repot menenteng kado untuk sang mama, lalu tangan kanannya dibuat untuk menggeret Taehyung.

Matanya menelusuri seluruh sudut lantai di mall ini. Mencari-cari tempat mana yang tepat agar dia bisa mendengar cerita Taehyung secara detail. Dari tadi sahabatnya itu terlalu banyak mengulur waktu, membuat Jimin gemas dan tidak bisa menahan rasa sabarnya lagi.

“Nanti ya, Chim. Habis kamu selesai nyari kado untuk mama-mu.” “Chim, gimana kalau beri satu set alat masak?” “Aduh, Chim aku kebelet pipis nih.”

Padahalkan tinggal cerita saja sembari mereka mengitari beberapa toko tadi. Tapi sahabatnya itu pakai segala acara malu-malu untuk cerita. Padahal ini kan Jimin, orang yang paling tahu hal A-Z yang dimiliki Taehyung.

Kaki mereka berjalan mengitari bangunan besar berwarna putih itu. Selama hampir sepuluh menit hanya perbutar-putar di dalam Hyundai Department Store yang berada di Gangnam-gu, tanpa punya tempat spesifik untuk dikunjungi. Karena awalnya mereka hanya ingin pergi mencari kado untuk Ibunya Jimin saja.

Perut Taehyung keroncongan, tapi tujuan mereka masih belum jelas. Jimin masih mengoceh panjang lebar tentang bagaimana Taehyung yang terlalu mengulur waktu untuk bercerita. Membuat kepala Taehyung pening dan laparnya semakin terasa.

“Jim, ngomelnya bisa ditunda dulu? Aku belum sarapan tau, ini udah jam makan siang pula.” rengek Taehyung.

Baiklah, sahabatnya itu akhirnya luluh. Acara marah-marahnya Jimin tunda dulu sebentar. Lalu kini dia menarik Taehyung untuk memasuki tempat makan siap saji yang bernama 'Le Freak'.

Mereka duduk di kursi paling pojok. Sengaja agar menyendiri dan jauh dari orang-orang, sehingga mereka bisa memiliki privasi untuk berbicara.

Taehyung sudah bahagia dengan kehadiran chicken burger di hadapannya. Lalu anak itu langsung melahap makanannya tanpa peduli kalau Jimin masih menunggu Taehyung untuk mulai bercerita.

Sabar ya, Jim. Biarkan Taehyung mengunyah makananya yang lezat itu. Kamu memangnya tidak kasihan melihat sahabatmu seperti anak kucing yang tidak diberi makan tiga hari seperti itu?

Akhirnya Jimin membiarkan Taehyung sibuk dan bahagia dengan makanannya. Lalu dirinya juga mulai menyantap menu yang sama dengan yang Taehyung beli.

“Jadi apa yang ga kamu ceritain kemarin?” tanya Jimin.

Taehyung mengangkat kepalanya, setelah selama beberapa menit sibuk menunduk untuk menyuapkan makanannya. Kini dia taruh burger berharga itu di piring. Kemudian dia menyesap minumnya, karena tiba-tiba tenggorokannya terasa kering sekali.

“Jungkook bilang suka sama aku..”

Jimin melongo. Harusnya dia tidak kaget, karena memang Jimin sudah tahu bahwa Jeon Jungkook salah satu orang yang jatuh pada pesona sahabatnya. Tapi ini semua di luar ekspektasinya. Dia pikir kalau Jungkook itu tipikal pria yang akan malu-malu untuk mengungkapkan perasaannya, justru Jeongguk yang Jimin kira akan mengatakannya terlebih dahulu.

Mau Jeongguk mengelak dan Taehyung buta akan kenyataan juga Jimin tetap tahu apa yang terjadi. Jimin beberapa kali memergoki Jeon Jeongguk menatap Taehyung tanpa berkedip sama sekali saat di kelas mata kuliah umum. Padahal posisinya saat itu mereka tidak saling kenal—belum berkenalan secara resmi.

Tapi Jimin akan tetap mendukung keputusan sahabatnya. Karena pada akhirnya Taehyung yang memiliki perasaannya. Taehyung yang berhak menentukan siapa orang yang bisa membuatnya bahagia.

“Terus kamu jawab apa? Jadi dia nembak kamu gitu?” tanya Jimin.

Taehyung mengangguk cepat.

Kemudian Jimin bisa melihat senyuman mengembang pada wajah sahabatnya. Taehyung tersenyum, membayangkan kembali rasa deg-degan yang membuat bahagia ketika ingat kalimat yang Jungkook katakan hari itu.

“Aku belum jawab iya atau engga. Kata Jungkook, aku bisa jawab waktu aku yakin sama perasaanku ke dia.” jawab Taehyung.

“Kamu udah yakin sama perasaanmu ke dia? Terus soal Jeongguk yang sempet buat kamu bingung gimana? Dia kan cowok yang di atap kampus kata kamu.”

Taehyung menggeleng. Dia sendiri pun sebenarnya belum bisa memahami perasaannya. Bukan dia ragu di antara Jeongguk atau Jungkook. Bukan itu. Taehyung kini sudah yakin, kalau dia tidak menyukai Jeongguk seperti bagaimana dia menyukai adik kembar pria itu. Yang membuatnya bingung itu adalah perihal waktu. Apa dirinya dan Jungkook tidak terlalu gegabah dan terburu-buru untuk menyatakan perasaan semacam itu?

“Aku suka sama Jungkook. Cuma rasanya pertemuan kami masih terlalu singkat, aku butuh banyak waktu untuk bisa lebih ngenal dia.”

“Taehyung, mau pertemuannya singkat, lama, itu semua ga ngaruh. Namanya perasaan tuh ga bisa dipatokin dari berapa lama waktu yang kamu habisin sama dia. Kalau kamu ngerasa nyaman sama dia, kenapa engga?”

Taehyung terdiam. Merenungi perkataan Jimin yang memang ada benarnya. Taehyung sebenarnya mempersulit perasaannya sendiri, nantinya malah akan membuat dirinya bingung. Padahal sebenarnya segala hal bisa dia lalui dengan cara yang mudah, namun dia buat sulit dengan segala pemikiran-pemikirannya.

Dia mengelak, dia berkata kalau dirinya tidak menyukai Jeongguk. Tapi kenapa beberapa waktu lalu dia dibuat bingung juga oleh sikap dan perkataan Jeongguk?

Apa Taehyung masih membiarkan sisi naifnya mengontrol dirinya?

Pikiran naifnya perihal jatuh cinta pada suara seseorang di atap pada malam tahun baru.

Burger di hadapannya sudah sepenuhnya terlupakan oleh Taehyung. Coke yang tadi dingin juga sudah terasa sama dengan suhu ruang. Nafsu makannya hilang, kini tergantikan dengan pertanyaan yang selama beberapa hari ini dia tolak untuk diambil pusing.

Sebenarnya bagaimana perasaanku ini?

Pikiran Taehyung itu rumit. Begitu rumit.

Ah, pantas saja selama ini kamu tidak pernah berpacaran Taehyung. Mau puluhan orang mengantri juga semuanya akan hilang pada akhirnya, karena kamu sering sekali membuat rumit suatu hal.

“Jimin, kalau kamu terus-terusan nanya begini aku jadi pusing tau. Nanti kalau aku ragu, gimana?” tanya Taehyung.

“Ya berarti kamu belum siap.” jawab Jimin enteng.

Setelah itu Jimin bisa melanjutkan makannya kembali. Sembari sesekali mengalihkan topik pembicaraan mereka, karena kini Taehyung terlihat lebih murung. Senyuman lebar tadi tidak lagi menghiasi wajah tampan sekaligus lucu miliknya. Kini malah kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan ke arah bawah.

“Ih, Taetae, maafin aku. Aku buat kamu pusing, ya? Ya udah gausah dipikirin. Tadi katanya mau kencan sama Jungkook habis ini, masa cemberut begitu?”

Jimin mencolek dagu Taehyung berkali-kali, agar sahabatnya bisa tersenyum lagi.

“Hih, iya iyaaa. Duh, omong-omong soal kencan... Jim aku jadi deg-degan lagi kalau inget iiiih.”

. . .


. . .

Jimin dan Taehyung berpisah di depan Hyundai Department Store Gangnam-gu. Jimin pergi ke stasiun Sanseong di seberang jalan, sedangkan Taehyung pergi ke Starbucks yang hanya perlu berjalan kaki selama beberapa meter saja dari tempatnya berada.

Awalnya Jungkook ingin menghampiri Taehyung ke dalam mall, namun anak itu buru-buru mencegah. Bisa gawat kalau Jungkook bertemu dengan Jimin secara langsung. Hal yang terjadi selanjutnya sudah pasti segala aib Taehyung akan dibongkar oleh sahabatnya itu. Bisa malu seumur hidup nanti Taehyung.

Jungkook dan dirinya kan masih dalam masa pendekatan. Taehyung harus jaga image dan tidak banyak bertingkah.

Padahal dari awal mereka berkenalan anak itu sudah sering sekali mempermalukan dirinya. Dia sendiri yang berkata kalau tidak apa-apa menjadi badut untuk membuat Jungkook senang dan tertawa. Namun sepertinya dia dibuat lupa oleh sensasi jantung berdebar hebat yang ditimbulkan oleh Jungkook akhir-akhir ini.

Ada sebuah bunyi decitan pintu dan lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk Starbucks, membuat Jungkook yang duduk tak jauh dari pintu masuk menoleh. Senyumannya otomatis mengembang ketika melihat Taehyung berjalan menghampiri tempatnya duduk.

“Kamu udah pesenin minuman?” tanya Taehyung ketika matanya melihat ada dua gelas minuman di atas meja. Dia buka jaket luarannya, lalu digantungkan pada kursi yang dia duduki.

Jungkook mengangguk. Tangannya menyodorkan segelas iced vanilla cream, kesukaan Taehyung. Ternyata Jungkook mengingat omongan Taehyung perihal minuman kesukaannya. Taehyung tidak begitu suka kopi, karena memiliki masalah dengan lambung dan sulit tidur di malam hari. Sedangkan Jungkook memesan iced americano untuk dirinya sendiri.

“Kamu waktu itu bilang ga terlalu suka kopi, kan? Lebih suka minuman vanilla haha.” jawab Jungkook.

“Kookie...” Taehyung tidak melanjutkan kalimatnya. Hatinya menghangat, ada sebuah desiran familier yang sering timbul ketika dirinya sedang berada di dekat Jungkook atau pria itu melakukan sesuatu yang manis pada Taehyung.

Taehyung suka bagaimana Jungkook mengingat detail kecil tentang Taehyung. Mengingat apa saja hal yang pernah mereka obrolkan bersama. Kalau begini, bagaimana bisa Taehyung tidak jatuh juga pada pesona Jungkook yang manis?

Jungkook masih tersenyum. Lalu bertanya, “Aku kenapa, hum?”

Tamatlah riwayat Taehyung. Cara bicara Jungkook begitu lembut, tapi ada yang beda dari suaranya hari ini. Terdengar lebih bindeng dan serak. Jungkook juga berbicara dengan Taehyung menggunakan tone suara yang lebih rendah dari biasanya.

“Kamu lagi flu?” Taehyung bertanya balik.

Jungkook tertawa dan mengangguk. Membenarkan pertanyaan Taehyung tadi.

“Kok kamu tau?”

“Suara kamu bindeng, terus juga serek.” jawab Taehyung.

“Hahaha, iya. Aku sering begini kalau kena udara dingin. Gampang kena flu dan bisa sembuh agak lama. Terakhir kali waktu pesta malam tahun baru, aku hampir seminggu kena flu.”

Pesta malam tahun baru katanya.

Jadi Jungkook juga dateng ke acara itu?

Namun Taehyung menolak untuk bertanya lebih lanjut lagi. Dirinya langsung menyibukkan diri dengan menyesap minuman yang sudah dipesankan Jungkook.

Matanya terpejam, lalu kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Menandakan kalau dirinya senang dengan minuman kesukaannya itu. Membuat Jungkook harus menahan gemas melihat tingkah laku pria dewasa yang tetap terlihat menggemaskan itu.

“Hari ini ingin ke mana?” tanya Taehyung semangat.

. . .


. . .

Jungkook memarkirkan mobilnya tak jauh dari sungai yang berjarak beberapa meter di depan mereka.

Matahari sudah terbenam sejak beberapa jam yang lalu. Langit sudah tidak lagi berwarna biru terang, melainkan gelap. Lampu jalanan, lampu taman dan lampu gedung-gedung pencakar langit kini sudah menyala, menggantikan peran matahari untuk memberi cahaya di bumi pada malam hari.

Taehyung keluar dari mobil Jungkook dengan riang. Jungkook pun ikut menyusul pria manis itu untuk keluar dari mobilnya. Keduanya bersandar pada kap mesim mobil, menikmati pantulan cahaya kota dari genangan air sungai yang tenang. Kelap-kelip dari lampu kota tarpantul cantik di atas air, membuat Taehyung tersenyum.

“Hah, indah banget. Udah lama aku pengin nikmatin suasana kota begini, tapi skripsi emang nyita waktu belakangan ini.” kata Taehyung.

Jungkook mengangguk mengerti. “Kamu seneng?”

“Jelaslaah. Makasih ya untuk hari ini, Kookie.”

“Hari ini kan belum berakhir, Tae. Hahaha. Ucapin makasihnya waktu aku anterin kamu pulang ke dorm aja, okay?”

Sejak siang menghabiskan waktu mengelilingi kota Seoul. Dari satu tempat ke tempat yang lain, minum vanilla cream di Starbucks. Membeli makanan Birdie dan Yeontan, lalu membelikan kalung sepasang untuk kedua anak bulu itu. Berjam-jam di kafe puppies meski yang dipesan oleh Taehyung adalah jus stroberi, yang penting dirinya senang bisa bermain dengan anak-anak anjing. Lalu membeli es krim dan churros. Sampai pada akhirnya mereka berakhir di pinggir sungai Han malam ini.

Taehyung menikmati waktu ini. Di mana rasa dingin dari angin yang bertubrukan dengan kulitnya tersamar oleh rasa hangat di pipi. Tangannya dia sandarkan pada kap mobil, lalu Taehyung sedikit tersentak oleh sengatan rasa dingin. Jungkook yang melihat itu langsung tertawa dan mengambil tangan Taehyung itu.

“Sini, dia sembunyiin di sini aja biar ga kedinginan.” kata Jungkook. Lalu tangan Taehyung dituntun untuk masuk ke dalam saku jaketnya yang hangat. Tidak, Jungkook tidak menggenggam tangannya Taehyung. Dia juga masih tahu diri dan batasan. Jadinya hanya tangan kiri Taehyung saja yang menjadi penghuni saku jaket Jungkook.

Semburat merah pada pipi Taehyung sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Kini Taehyung hanya bisa menunduk malu, namun menikmati momen manis antara dirinya dan Jungkook. Hanya ada mereka berdua di tepi sungai dengan mobil Jungkook yang terparkir.

Hanya ada Jungkook, Taehyung dan pantulan cahaya bulan yang menghiasi sungai Han. Terang dan cantik, bulan malam ini bersinar sempurna. Meski hanya pantulannya saja yang dapat Taehyung lihat saat ini.

Taehyung malu dan deg-degan, jadinya hanya bisa menunduk atau memandang lurus ke arah sungai. Dia tidak berani menatap mata Jungkook, ngeri kalau nanti benar-benar bisa terkena serangan jantung.

Saat Jungkook sudah menaiki anak tangga menuju lantai paling atas dari sebuah gedung tinggi, Jeongguk bahkan belum mengambil langkah untuk anak tangga pertama di paling bawah. Bukankah itu artinya Jeongguk sudah kalah telak?

. . .


Author's note:

Hallo, manteman! Maafkan aku yea kalau ada banyak typo, biasalaaah. Aku dan typo sudah satu paket!

Aku kayaknya bakal update banyak narasi di cerita ini. Kalian pribadi suka baca banyak narasi ga sih? Terus biasanya suka yang di bawah 2k words atau gimana? hehehe. Aku mau buat lebih panjang takut kalian bosan, huhuhu. Feel free buat ngasih saran ke aku ya guys pokoknya~

Btw, aku sekarang lagi sering banget update subuh-subuh wkwkwk. Dah, sekian curhat dari aku. Sampai nanti!

All the Love, Bae.

Identical Twins – 100

Gumusservi (n.) moonlight shining on the water.


. . .

Jimin menggeret Taehyung keluar dari pertokoan. Tangan kirinya repot menenteng kado untuk sang mama, lalu tangan kanannya dibuat untuk menggeret Taehyung.

Matanya menelusuri seluruh sudut lantai di mall ini. Mencari-cari tempat mana yang tepat agar dia bisa mendengar cerita Taehyung secara detail. Dari tadi sahabatnya itu terlalu banyak mengulur waktu, membuat Jimin gemas dan tidak bisa menahan rasa sabarnya lagi.

“Nanti ya, Chim. Habis kamu selesai nyari kado untuk mama-mu.” “Chim, gimana kalau beri satu set alat masak?” “Aduh, Chim aku kebelet pipis nih.”

Padahalkan tinggal cerita saja sembari mereka mengitari beberapa toko tadi. Tapi sahabatnya itu pakai segala acara malu-malu untuk cerita. Padahal ini kan Jimin, orang yang paling tahu hal A-Z yang dimiliki Taehyung.

Kaki mereka berjalan mengitari bangunan besar berwarna putih itu. Selama hampir sepuluh menit hanya perbutar-putar di dalam Hyundai Department Store yang berada di Gangnam-gu, tanpa punya tempat spesifik untuk dikunjungi. Karena awalnya mereka hanya ingin pergi mencari kado untuk Ibunya Jimin saja.

Perut Taehyung keroncongan, tapi tujuan mereka masih belum jelas. Jimin masih mengoceh panjang lebar tentang bagaimana Taehyung yang terlalu mengulur waktu untuk bercerita. Membuat kepala Taehyung pening dan laparnya semakin terasa.

“Jim, ngomelnya bisa ditunda dulu? Aku belum sarapan tau, ini udah jam makan siang pula.” rengek Taehyung.

Baiklah, sahabatnya itu akhirnya luluh. Acara marah-marahnya Jimin tunda dulu sebentar. Lalu kini dia menarik Taehyung untuk memasuki tempat makan siap saji yang bernama 'Le Freak'.

Mereka duduk di kursi paling pojok. Sengaja agar menyendiri dan jauh dari orang-orang, sehingga mereka bisa memiliki privasi untuk berbicara.

Taehyung sudah bahagia dengan kehadiran chicken burger di hadapannya. Lalu anak itu langsung melahap makanannya tanpa peduli kalau Jimin masih menunggu Taehyung untuk mulai bercerita.

Sabar ya, Jim. Biarkan Taehyung mengunyah makananya yang lezat itu. Kamu memangnya tidak kasihan melihat sahabatmu seperti anak kucing yang tidak diberi makan tiga hari seperti itu?

Akhirnya Jimin membiarkan Taehyung sibuk dan bahagia dengan makanannya. Lalu dirinya juga mulai menyantap menu yang sama dengan yang Taehyung beli.

“Jadi apa yang ga kamu ceritain kemarin?” tanya Jimin.

Taehyung mengangkat kepalanya, setelah selama beberapa menit sibuk menunduk untuk menyuapkan makanannya. Kini dia taruh burger berharga itu di piring. Kemudian dia menyesap minumnya, karena tiba-tiba tenggorokannya terasa kering sekali.

“Jungkook bilang suka sama aku..”

Jimin melongo. Harusnya dia tidak kaget, karena memang Jimin sudah tahu bahwa Jeon Jungkook salah satu orang yang jatuh pada pesona sahabatnya. Tapi ini semua di luar ekspektasinya. Dia pikir kalau Jungkook itu tipikal pria yang akan malu-malu untuk mengungkapkan perasaannya, justru Jeongguk yang Jimin kira akan mengatakannya terlebih dahulu.

Mau Jeongguk mengelak dan Taehyung buta akan kenyataan juga Jimin tetap tahu apa yang terjadi. Jimin beberapa kali memergoki Jeon Jeongguk menatap Taehyung tanpa berkedip sama sekali saat di kelas mata kuliah umum. Padahal posisinya saat itu mereka tidak saling kenal—belum berkenalan secara resmi.

Tapi Jimin akan tetap mendukung keputusan sahabatnya. Karena pada akhirnya Taehyung yang memiliki perasaannya. Taehyung yang berhak menentukan siapa orang yang bisa membuatnya bahagia.

“Terus kamu jawab apa? Jadi dia nembak kamu gitu?” tanya Jimin.

Taehyung mengangguk cepat.

Kemudian Jimin bisa melihat senyuman mengembang pada wajah sahabatnya. Taehyung tersenyum, membayangkan kembali rasa deg-degan yang membuat bahagia ketika ingat kalimat yang Jungkook katakan hari itu.

“Aku belum jawab iya atau engga. Kata Jungkook, aku bisa jawab waktu aku yakin sama perasaanku ke dia.” jawab Taehyung.

“Kamu udah yakin sama perasaanmu ke dia? Terus soal Jeongguk yang sempet buat kamu bingung gimana? Dia kan cowok yang di atap kampus kata kamu.”

Taehyung menggeleng. Dia sendiri pun sebenarnya belum bisa memahami perasaannya. Bukan dia ragu di antara Jeongguk atau Jungkook. Bukan itu. Taehyung kini sudah yakin, kalau dia tidak menyukai Jeongguk seperti bagaimana dia menyukai adik kembar pria itu. Yang membuatnya bingung itu adalah perihal waktu. Apa dirinya dan Jungkook tidak terlalu gegabah dan terburu-buru untuk menyatakan perasaan semacam itu?

“Aku suka sama Jungkook. Cuma rasanya pertemuan kami masih terlalu singkat, aku butuh banyak waktu untuk bisa lebih ngenal dia.”

“Taehyung, mau pertemuannya singkat, lama, itu semua ga ngaruh. Namanya perasaan tuh ga bisa dipatokin dari berapa lama waktu yang kamu habisin sama dia. Kalau kamu ngerasa nyaman sama dia, kenapa engga?”

Taehyung terdiam. Merenungi perkataan Jimin yang memang ada benarnya. Taehyung sebenarnya mempersulit perasaannya sendiri, nantinya malah akan membuat dirinya bingung. Padahal sebenarnya segala hal bisa dia lalui dengan cara yang mudah, namun dia buat sulit dengan segala pemikiran-pemikirannya.

Dia mengelak, dia berkata kalau dirinya tidak menyukai Jeongguk. Tapi kenapa beberapa waktu dia dibuat bingung juga oleh sikap dan perkataan Jeongguk?

Apa Taehyung masih membiarkan sisi naifnya mengontrol dirinya?

Pikiran naifnya perihal jatuh cinta pada suara seseorang di atap pada malam tahun baru.

Burger di hadapannya sudah sepenuhnya terlupakan oleh Taehyung. Coke yang tadi dingin juga sudah terasa sama dengan suhu ruang. Nafsu makannya hilang, kini tergantikan dengan pertanyaan yang selama beberapa hari ini dia tolak untuk diambil pusing.

Sebenarnya bagaimana perasaanku ini?

Pikiran Taehyung itu rumit. Begitu rumit.

Ah, pantas saja selama ini kamu tidak pernah berpacaran Taehyung. Mau puluhan orang mengantri juga semuanya akan hilang pada akhirnya, karena kamu sering sekali membuat rumit suatu hal.

“Jimin, kalau kamu terus-terusan nanya begini aku jadi pusing tau. Nanti kalau aku ragu, gimana?” tanya Taehyung.

“Ya berarti kamu belum siap.” jawab Jimin enteng.

Setelah itu Jimin bisa melanjutkan makannya kembali. Sembari sesekali mengalihkan topik pembicaraan mereka, karena kini Taehyung terlihat lebih murung. Senyuman lebar tadi tidak lagi menghiasi wajah tampan sekaligus lucu miliknya. Kini malah kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan ke arah bawah.

“Ih, Taetae, maafin aku. Aku buat kamu pusing, ya? Ya udah gausah dipikirin. Tadi katanya mau kencan sama Jungkook habis ini, masa cemberut begitu?”

Jimin mencolek dagu Taehyung berkali-kali, agar sahabatnya bisa tersenyum lagi.

“Hih, iya iyaaa. Duh, omong-omong soal kencan... Jim aku jadi deg-degan lagi kalau inget iiiih.”

. . .


. . .

Jimin dan Taehyung berpisah di depan Hyundai Department Store Gangnam-gu. Jimin pergi ke stasiun Sanseong di seberang jalan, sedangkan Taehyung pergi ke Starbucks yang hanya perlu berjalan kaki selama beberapa meter saja dari tempatnya berada.

Awalnya Jungkook ingin menghampiri Taehyung ke dalam mall, namun anak itu buru-buru mencegah. Bisa gawat kalau Jungkook bertemu dengan Jimin secara langsung. Hal yang terjadi selanjutnya sudah pasti segala aib Taehyung akan dibongkar oleh sahabatnya itu. Bisa malu seumur hidup nanti Taehyung.

Jungkook dan dirinya kan masih dalam masa pendekatan. Taehyung harus jaga image dan tidak banyak bertingkah.

Padahal dari awal mereka berkenalan anak itu sudah sering sekali mempermalukan dirinya. Dia sendiri yang berkata kalau tidak apa-apa menjadi badut untuk membuat Jungkook senang dan tertawa. Namun sepertinya dia dibuat lupa oleh sensasi jantung berdebar hebat yang ditimbulkan oleh Jungkook akhir-akhir ini.

Ada sebuah bunyi decitan pintu dan lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk Starbucks, membuat Jungkook yang duduk tak jauh dari pintu masuk menoleh. Senyumannya otomatis mengembang ketika melihat Taehyung berjalan menghampiri tempatnya duduk.

“Kamu udah pesenin minuman?” tanya Taehyung ketika matanya melihat ada dua gelas minuman di atas meja. Dia buka jaket luarannya, lalu digantungkan pada kursi yang dia duduki.

Jungkook mengangguk. Tangannya menyodorkan segelas iced vanilla cream, kesukaan Taehyung. Ternyata Jungkook mengingat omongan Taehyung perihal minuman kesukaannya. Taehyung tidak begitu suka kopi, karena memiliki masalah dengan lambung dan sulit tidur di malam hari. Sedangkan Jungkook memesan iced americano untuk dirinya sendiri.

“Kamu waktu itu bilang ga terlalu suka kopi, kan? Lebih suka minuman vanilla haha.” jawab Jungkook.

“Kookie...” Taehyung tidak melanjutkan kalimatnya. Hatinya menghangat, ada sebuah desiran familier yang sering timbul ketika dirinya sedang berada di dekat Jungkook atau pria itu melakukan sesuatu yang manis pada Taehyung.

Taehyung suka bagaimana Jungkook mengingat detail kecil tentang Taehyung. Mengingat apa saja hal yang pernah mereka obrolkan bersama. Kalau begini, bagaimana bisa Taehyung tidak jatuh juga pada pesona Jungkook yang manis?

Jungkook masih tersenyum. Lalu bertanya, “Aku kenapa, hum?”

Tamatlah riwayat Taehyung. Cara bicara Jungkook begitu lembut, tapi ada yang beda dari suaranya hari ini. Terdengar lebih bindeng dan serak. Jungkook juga berbicara dengan Taehyung menggunakan tone suara yang lebih rendah dari biasanya.

“Kamu lagi flu?” Taehyung bertanya balik.

Jungkook tertawa dan mengangguk. Membenarkan pertanyaan Taehyung tadi.

“Kok kamu tau?”

“Suara kamu bindeng, terus juga serek.” jawab Taehyung.

“Hahaha, iya. Aku sering begini kalau kena udara dingin. Gampang kena flu dan bisa sembuh agak lama. Terakhir kali waktu pesta malam tahun baru, aku hampir seminggu kena flu.”

Pesta malam tahun baru katanya.

Jadi Jungkook juga dateng ke acara itu?

Namun Taehyung menolak untuk bertanya lebih lanjut lagi. Dirinya langsung menyibukkan diri dengan menyesap minuman yang sudah dipesankan Jungkook.

Matanya terpejam, lalu kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Menandakan kalau dirinya senang dengan minuman kesukaannya itu. Membuat Jungkook harus menahan gemas melihat tingkah laku pria dewasa yang tetap terlihat menggemaskan itu.

“Hari ini ingin ke mana?” tanya Taehyung semangat.

. . .


. . .

Jungkook memarkirkan mobilnya tak jauh dari sungai yang berjarak beberapa meter di depan mereka.

Matahari sudah terbenam sejak beberapa jam yang lalu. Langit sudah tidak lagi berwarna biru terang, melainkan gelap. Lampu jalanan, lampu taman dan lampu gedung-gedung pencakar langit kini sudah menyala, menggantikan peran matahari untuk memberi cahaya di bumi pada malam hari.

Taehyung keluar dari mobil Jungkook dengan riang. Jungkook pun ikut menyusul pria manis itu untuk keluar dari mobilnya. Keduanya bersandar pada kap mesim mobil, menikmati pantulan cahaya kota dari genangan air sungai yang tenang. Kelap-kelip dari lampu kota tarpantul cantik di atas air, membuat Taehyung tersenyum.

“Hah, indah banget. Udah lama aku pengin nikmatin suasana kota begini, tapi skripsi emang nyita waktu belakangan ini.” kata Taehyung.

Jungkook mengangguk mengerti. “Kamu seneng?”

“Jelaslaah. Makasih ya untuk hari ini, Kookie.”

“Hari ini kan belum berakhir, Tae. Hahaha. Ucapin makasihnya waktu aku anterin kamu pulang ke dorm aja, okay?”

Sejak siang menghabiskan waktu mengelilingi kota Seoul. Dari satu tempat ke tempat yang lain, minum vanilla cream di Starbucks. Membeli makanan Birdie dan Yeontan, lalu membelikan kalung sepasang untuk kedua anak bulu itu. Berjam-jam di kafe puppies meski yang dipesan oleh Taehyung adalah jus stroberi, yang penting dirinya senang bisa bermain dengan anak-anak anjing. Lalu membeli es krim dan churros. Sampai pada akhirnya mereka berakhir di pinggir sungai Han malam ini.

Taehyung menikmati waktu ini. Di mana rasa dingin dari angin yang bertubrukan dengan kulitnya tersamar oleh rasa hangat di pipi. Tangannya dia sandarkan pada kap mobil, lalu Taehyung sedikit tersentak oleh sengatan rasa dingin. Jungkook yang melihat itu langsung tertawa dan mengambil tangan Taehyung itu.

“Sini, dia sembunyiin di sini aja biar ga kedinginan.” kata Jungkook. Lalu tangan Taehyung dituntun untuk masuk ke dalam saku jaketnya yang hangat. Tidak, Jungkook tidak menggenggam tangannya Taehyung. Dia juga masih tahu diri dan batasan. Jadinya hanya tangan kiri Taehyung saja yang menjadi penghuni saku jaket Jungkook.

Semburat merah pada pipi Taehyung sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Kini Taehyung hanya bisa menunduk malu, namun menikmati momen manis antara dirinya dan Jungkook. Hanya ada mereka berdua di tepi sungai dengan mobil Jungkook yang terparkir.

Hanya ada Jungkook, Taehyung dan pantulan cahaya bulan yang menghiasi sungai Han. Terang dan cantik, bulan malam ini bersinar sempurna. Meski hanya pantulannya saja yang dapat Taehyung lihat saat ini.

Taehyung malu dan deg-degan, jadinya hanya bisa menunduk atau memandang lurus ke arah sungai. Dia tidak berani menatap mata Jungkook, ngeri kalau nanti benar-benar bisa terkena serangan jantung.

Saat Jungkook sudah menaiki anak tangga menuju lantai paling atas dari sebuah gedung tinggi, Jeongguk bahkan belum mengambil langkah untuk anak tangga pertama di paling bawah. Bukankah itu artinya Jeongguk sudah kalah telak?

. . .


Author's note: Hallo, manteman! aku kayaknya bakal update banyak narasi di cerita ini. Kalian pribadi suka baca banyak narasi ga sih? Terus biasanya suka yang di bawah 2k words atau gimana? hehehe. Aku mau buat lebih panjang takut kalian bosan, huhuhu. Feel free buat ngasih saran ke aku ya guys pokoknya~ Btw, aku sekarang lagi sering banget update subuh-subuh wkwkwk. Dah, sekian curhat dari aku. Sampai nanti!

All the Love, Bae.

Identical Twins – 97

“I hope that i have a place in your heart too.”

-First Love, Utada Hikaru-


Jeongguk berdiri, bersandar pada tembok abu-abu yang berada tepat di sebelah pintu masuk dorm Taehyung. Ya, dia sudah berdiri di sana selama lima belas menit karena orang yang ditunggu-tunggu belum juga muncul. Bahkan beberapa mahasiswa yang kebetulan mengenalinya sempat menyapa Jeongguk, membuat pria itu harus berpura-pura tersenyum berkali-kali. Padahal aslinya dia sudah bosan sekali, juga kedinginan.

Salju memang tidak turun, namun sore itu angin terasa cukup kencang. Pohon-pohon gundul di halaman dorm mungkin tidak bergeming sedikit pun, karena rantingnya kini masih telanjang tanpa adanya dedaunan yang menemani. Tapi sungguh, angin kencang itu cukup membuatnya linu ketika bertabrakan dengan kuku-kuku jarinya.

Kasihan sekali Jeongguk disuruh menunggu di luar seperti itu. Kalau dia terkena flu selama beberapa hari ke depan apa Taehyung bersedia tanggung jawab?

Oh, tentu tidak akan. Anak itu juga bermusuhan dengan musim dingin dan flu, omong-omong.

Jeongguk ambil ponselnya yang dia simpan di dalam saku jaket. Lalu buru-buru dia mengirim pesan ke Taehyung untuk segera keluar dorm. Tentu saja dengan ancaman kalau dalam dua menit Taehyung tidak datang, flashdisk berharga miliknya akan melayang bebas ke semak-semak sebelah gedung dorm-nya itu.

Belum ada satu menit Taehyung sudah menjawab pesan penuh ancaman dari Jeongguk itu. Katanya begini, Cerewet bangeeet, tadi aku sibuk nyari lensa kontakku duluuu.

Lalu tak lama Kim Taehyung muncul. Anak itu menuruni anak tangga dengan napasnya yang tidak beraturan, diduga kuat bahwa dia habis berlari kilat dari kamar dorm-nya di lantai tiga.

“Kamu tuh ya, ga kira-kira ngancemnya. Huft.”

Baru juga sampai, tapi anak itu sudah memarahi Jeongguk. Padahalkan memang dia yang salah karena membuat Jeongguk menunggu cukup lama di tengah udara dingin.

“Padahal lo yang lama, tapi gua tetep yang disalahin.” jawab Jeongguk.

Ya, pokoknya Taehyung tidak pernah salah karena dia anak manis dan lucu!

Mereka masih berdiri di depan pintu masuk dorm. Tidak tahu diri sekali kalau posisi mereka bisa menghalangi orang-orang yang berlalu-lalang ingin keluar atau masuk ke gedung itu.

“Kacamata-ku ketinggalan di rumah. Terus aku harus ngobrak-abrik laci buat nyari lenca kontak. Kamu mau tanggung jawab kalau aku nyungsruk pas jalan di tangga karena matanya burem?”

“Sejak kapan lo pakai kacamata?” tanya Jeongguk.

Wah, pria lucu dalam hati Taehyung kini sedang mengomel. Si Jeongguk ini pura-pura tidak tahu segala. Padahal malam tahun baru waktu itu dia yang membantu Taehyung mencari kacamatanya. Hih, dipikir Taehyung tidak menyadari kalau itu dia, ya?

Taehyung tidak menjawab pertanyaan Jungkook, malas sekali. “Mana sini flashdisk-ku? Kalau gaada benda itu aku gabisa lanjutin skripsi nanti.”

Taehyung bisa melihat ada senyuman jahat yang sedang menghiasi wajah Jeongguk. Serius, Taehyung jadi merinding dan perasaannya tiba-tiba terasa tidak enak.

“Ye, ga segampang itulah. Gaada yang gratis di dunia ini, Kim Tae.”

Benar saja yang Taehyung pikirkan. Jeon Jeongguk si menyebalkan itu akan tetap menjadi orang yang paling menyebalkan.

“Memang ya, harusnya aku udah ngeduga ini dari awal. Kamu tuh ngeselin.” jawab Taehyung.

“Ayo beliin gua ramyeon di seven eleven depan sana. Gua laper banget dingin-dingin disuruh nunggu lo lama.”

Setelah itu tangan Taehyung digeret paksa oleh Jeongguk. Pria itu tidak peduli kalau Taehyung sedang protes dan tidak terima dengan ide sepihak Jeongguk itu. Tapi tetap saja, tenaga Jeongguk jauh lebih kuat dibanding Taehyung. Mau dia protes seperti apa pun juga kakinya akan tetap mengikuti tarikan Jeongguk.

. . .


. . .

Taehyung cemberut, kesal, tidak terima dengan sikap semaunya yang selalu Jeongguk lakukan.

Bukannya Taehyung perhitungan. Taehyung tidak mempermasalahkan uang yang dia keluarkan untuk membelikan dua bungkus ramyeon, satu pack telur rebus berisi dua butir, kimchi instan dan satu kaleng minuman berkarbonasi. Tidak, Taehyung tidak mempermasalahkan itu. Meski dirinya bisa menghabiskan uang itu untuk makan siang dan makan malamnya.

Kini Taehyung hanya bisa menatap kesal Jeongguk sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali. Keheranan melihat Jeongguk yang lahap sekali makan di sebelah Taehyung. Bahkan kimbab segitiga milik Taehyung saja sampai tidak sempat disentuh, karena sibuk terheran-heran melihat Jeongguk makan.

“Wah, kamu kayak ga makan satu minggu.” celetuk Taehyung.

Masa bodoh, yang penting Jeongguk dapat makan malam gratis hari ini. Sudah gratis, ditemani dengan Taehyung kan jadi tambah istimewa. Ralat, ditemani dan dibayari oleh Taehyung, pria lucu yang dia suka. Kurang indah apa coba hari Jeongguk?

“Kapan lagi aku dapat makanan gratis begini.” jawab Jeongguk sekenanya.

Tunggu sebentar, apa barusan Jeongguk menyebutkan dirinya dengan kata 'aku'?

Taehyung tidak salah dengar, kan?

“Ih, terserah. Tapi kamu tuh bikin aku tekor, tau!”

Jeongguk tersenyum kecil. Sudut bibir kirinya terangkat, sebelum akhirnya dia kembali menyuapkan ramyeon ke dalam mulutnya.

Setiap orang punya caranya masing-masing dalam menunjukkan rasa suka mereka pada seseorang. Setiap orang punya caranya masing-masing untuk memperlakukan orang yang disuka.

Ada yang caranya manis dan tenang seperti Jungkook. Ada juga yang sengaja bertingkah menyebalkan dan meledek orang yang disuka seperti Jeongguk. Namun satu hal yang pasti, tidak ada yang namanya salah ataupun benar. Setiap orang punya caranya masing-masing dalam mengekspresikan perasaannya.

Jeongguk suka menjahili Taehyung. Suka ketika anak itu merengut sebal dan marah-marah lucu. Meski Taehyung menganggap dirinya menyebalkan, tidak manis seperti Jungkook.

Ya, kalau boleh jujur sih Jeongguk iri setengah mati pada adik kembarnya.

Taehyung selalu menganggap sikap Jungkook manis, membuat kadar ketampanan adiknya itu menaik pesat dan berada 200 level di atas Jeongguk—bagi Taehyung. Padahal realitanya, sebuah fakta tanpa perlu adanya bukti empiris menyatakan bahwa Jungkook dan Jeongguk itu sama-sama tampan. Keduanya tampan dan berwajah sama, tentu saja. Hanya tahi lalat dan model rambut mereka yang dapat menjadi pembeda keduanya jika kalian hanya melihatnya sekilas saja.

Tapi tetap saja. Image Jeongguk di mata Taehyung sudah terlalu terbentuk sebagai sosok yang menyebalkan. Selalu mengganggu Taehyung dan bersikap semaunya. Namun, memang begitulah cara Jeongguk menyalurkan perasaannya untuk Taehyung.

Setelah lebih dari tiga tahun hanya bisa menjadi pengagum dalam diam. Mengagumi Taehyung ditemani oleh sunyi, tanpa ada sepatah kata pun yang berani dia keluarkan untuk sekadar menyapa atau mengajak berkenalan. Jeongguk harus menghadapi kenyataan aneh, takdir yang begitu jahil mempermainkan dirinya dan juga adik kembarnya.

Baik Jeongguk ataupun Jungkook, keduanya sudah jatuh cinta pada Kim Taehyung.

Keduanya memang memiliki perasaan pada Taehyung. Namun Jungkook sudah beberapa langkah di depan Jeongguk. Adiknya itu jauh lebih pintar membaca situasi. Jungkook tidak takut untuk mengambil resiko. Padahal biasanya dia selalu menjadi orang yang paling suka mengamati dalam diam dan tidak pernah neko-neko.

Jungkook selalu menjadi pribadi yang lebih tenang. Mempertimbangkan banyak hal dan mengamati situasi. Jungkook selalu mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil sebuah tindakan. Sedangkan Jeongguk selalu menjadi pribadi yang blak-blakan. Tidak pernah takut untuk menyuarakan pendapatnya.

Sayangnya, hal yang sama tidak terjadi jika itu bersangkutan dengan urusan hati dan perasaan. Padahal ini bukan kali pertama Jeongguk menyukai seseorang. Dirinya bahkan sudah memiliki mantan kekasih sebanyak empat orang di bangku SMP dan SMA dulu. Jumlah mantan pacar Jeongguk menang banyak dibanding Jungkook yang memiliki nol mantan, alias belum pernah berpacaran.

Orang-orang kebanyakan keburu menyerah untuk menyukai Jungkook, karena pria itu terlalu kalem dan terlalu perfeksionis. Lalu pada akhirnya mereka akan memuja Jeongguk sepenuh hati, tanpa menyisahkan tempat untuk Jungkook. Meski, ya, sebenarnya wajah keduanya sama-sama tampan.

Kenapa bisa Jeongguk menjadi pengecut dan pengagum Kim Taehyung dalam diam selama tiga tahun ini?

Kenapa juga Jungkook bisa seberani dan seterbuka itu akan perasaannya pada Taehyung?

“Kamu mau melamun sampai itu ramyeon ngembang keluar dari wadahnya?”

Jeongguk tersadar setelah beberapa menit tenggelam dalam pikiran bodohnya: membandingkan dirinya dengan Jungkook lagi.

Benar saja kata Taehyung. Ramyeon di hadapan Jeongguk terlihat mulai mengembang dan menyisahkan sedikit kuah saja.

“Kalau ga enak ya tinggal minta beliin lagi sama lo.” jawab Jeongguk asal.

Taehyung mengehela napasnya, entah sudah yang ke berapa kali sejak sore. Kira-kira Jeon Jeongguk yang menyebalkan ini enaknya diapakan, ya?

Oh, disayang-sayang saja, Taehyung-ah!

Tapi tentu saja Taehyung tidak melakukan saran itu. Dia malah mendengus kesal, lalu mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela. Matanya kini sibuk melihat kendaraan yang berlalu-lalang, membelah jalanan Seoul yang tidak pernah mati dari hiruk-pikuk aktifitas ibu kota yang padat akan kendaraan. Suara klakson, lampu lalu lintas yang terus menerus berganti warna—hijau, oranye dan merah. Lalu para pejalan kaki yang juga ingin segera sampai pada tempat tujuannya.

Ya, Taehyung kini lebih memilih memandangi itu semua dibanding pria tampan di sebelahnya.

Jeongguk diam sebentar. Memandangi wajah indah Taehyung dari samping yang kini terasa begitu dekat. Terlalu dekat bahkan, Jeongguk tidak pernah berani berharap bahwa dirinya bisa berada di jarak sedekat ini dengan Taehyung.

Bulu mata Taehyung begitu panjang dan tebal, pantas saja matanya selalu terlihat indah. Hidungnya mancung dengan sempurna. Bibirnya tebal dan berwarna merah muda. Ternyata memang Taehyung seindah ini, ya?

Indah memang. Yang tidak indah itu ya kisah cinta Jeongguk dengan Taehyung yang mungkin saja tidak berakhir bahagia.

Tapi Jeongguk masih boleh berharap bukan?

Jeongguk masih boleh berharap kalau memang pada akhirnya hati Taehyung bisa sepenuhnya dia miliki?

Jeongguk tidak bisa munafik. Dirinya masih berharap kalau ada sebuah ruang kecil di dalam hati Taehyung untuk dirinya. Harapan ini tidak terlalu muluk kan?

. . .


. . . Author's Note: Hallo, manteman! maafkan kalau narasi ini penuh dengan typo tanpa aku sadari. Karena aku memang anaknya hidup ditemani oleh si typo dan mataku buriknya sebelas dua belas sama karakter Taehyung kalau ga pakai kacamata. Huhuhu. Tapi semoga kalian memaklumi dan tetap bisa menikmati chapter ini ya! xixixi.

All the Love, Bae.

Identical Twins – 97

“I hope that i have a place in your heart too.”

-First Love, Utada Hikaru-


Jeongguk berdiri, menyandar pada tembok abu-abu yang berada tepat di sebelah pintu masuk dorm Taehyung. Ya, dia sudah berdiri di sana selama lima belas menit karena orang yang ditunggu-tunggu belum juga muncul. Bahkan beberapa mahasiswa yang kebetulan mengenalinya sempat menyapa Jeongguk, membuat pria itu harus berpura-pura tersenyum berkali-kali. Padahal aslinya dia sudah bosan sekali, juga kedinginan.

Salju memang tidak turun, namun sore itu angin terasa cukup kencang. Pohon-pohon gundul di halaman dorm mungkin tidak bergeming sedikit pun, karena rantingnya kini masih telanjang tanpa adanya dedaunan yang menemani. Tapi sungguh, angin kencang itu cukup membuatnya linu ketika bertabrakan dengan kuku-kuku jarinya.

Kasihan sekali Jeongguk disuruh menunggu di luar seperti itu. Kalau dia terkena flu selama beberapa hari ke depan apa Taehyung bersedia tanggung jawab?

Oh, tentu tidak akan. Anak itu juga bermusuhan dengan musim dingin dan flu, omong-omong.

Jeongguk ambil ponselnya yang dia simpan di dalam saku jaket. Lalu buru-buru dia mengirim pesan ke Taehyung untuk segera keluar dorm. Tentu saja dengan ancaman kalau dalam dua menit Taehyung tidak datang, flashdisk berharga miliknya akan melayang bebas ke semak-semak sebelah gedung dorm-nya itu.

Belum ada satu menit Taehyung sudah menjawab pesan penuh ancaman dari Jeongguk itu. Katanya begini, Cerewet bangeeet, tadi aku sibuk nyari lensa kontakku duluuu.

Lalu tak lama Kim Taehyung muncul. Anak itu menuruni anak tangga dengan napasnya yang tidak beraturan, diduga kuat bahwa dia habis berlari kilat dari kamar dorm-nya di lantai tiga.

“Kamu tuh ya, ga kira-kira ngancemnya. Huft.”

Baru juga sampai, tapi anak itu sudah memarahi Jeongguk. Padahalkan memang dia yang salah karena membuat Jeongguk menunggu cukup lama di tengah udara dingin.

“Padahal lo yang lama, tapi gua tetep yang disalahin.” jawab Jeongguk.

Ya, pokoknya Taehyung tidak pernah salah karena dia anak manis dan lucu!

Mereka masih berdiri di depan pintu masuk dorm. Tidak tahu diri sekali kalau posisi mereka bisa menghalangi orang-orang yang berlalu-lalang ingin keluar atau masuk ke gedung itu.

“Kacamata-ku ketinggalan di rumah. Terus aku harus ngobrak-abrik laci buat nyari lenca kontak. Kamu mau tanggung jawab kalau aku nyungsruk pas jalan di tangga karena matanya burem?”

“Sejak kapan lo pakai kacamata?” tanya Jeongguk.

Wah, pria lucu dalam hati Taehyung kini sedang mengomel. Si Jeongguk ini pura-pura tidak tahu segala. Padahal malam tahun baru waktu itu dia yang membantu Taehyung mencari kacamatanya. Hih, dipikir Taehyung tidak menyadari kalau itu dia, ya?

Taehyung tidak menjawab pertanyaan Jungkook, malas sekali. “Mana sini flashdisk-ku? Kalau gaada benda itu aku gabisa lanjutin skripsi nanti.”

Taehyung bisa melihat ada senyuman jahat yang sedang menghiasi wajah Jeongguk. Serius, Taehyung jadi merinding dan perasaannya tiba-tiba terasa tidak enak.

“Ye, ga segampang itulah. Gaada yang gratis di dunia ini, Kim Tae.”

Benar saja yang Taehyung pikirkan. Jeon Jeongguk si menyebalkan itu akan tetap menjadi orang yang paling menyebalkan.

“Memang ya, harusnya aku udah ngeduga ini dari awal. Kamu tuh ngeselin.” jawab Taehyung.

“Ayo beliin gua ramyeon di seven eleven depan sana. Gua laper banget dingin-dingin disuruh nunggu lo lama.”

Setelah itu tangan Taehyung digeret paksa oleh Jeongguk. Pria itu tidak peduli kalau Taehyung sedang protes dan tidak terima dengan ide sepihak Jeongguk itu. Tapi tetap saja, tenaga Jeongguk jauh lebih kuat dibanding Taehyung. Mau dia protes seperti apa pun juga kakinya akan tetap mengikuti tarikan Jeongguk.

. . .


. . .

Taehyung cemberut, kesal, tidak terima dengan sikap semaunya yang selalu Jeongguk lakukan.

Bukannya Taehyung perhitungan. Taehyung tidak mempermasalahkan uang yang dia keluarkan untuk membelikan dua bungkus ramyeon, satu pack telur rebus berisi dua butir, kimchi instan dan satu kaleng minuman berkarbonasi. Tidak, Taehyung tidak mempermasalahkan itu. Meski dirinya bisa menghabiskan uang itu untuk makan siang dan makan malamnya.

Kini Taehyung hanya bisa menatap kesal Jeongguk sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali. Keheranan melihat Jeongguk yang lahap sekali makan di sebelah Taehyung. Bahkan kimbab segitiga milik Taehyung saja sampai tidak sempat disentuh, karena sibuk terheran-heran melihat Jeongguk makan.

“Wah, kamu kayak ga makan satu minggu.” celetuk Taehyung.

Masa bodoh, yang penting Jeongguk dapat makan malam gratis hari ini. Sudah gratis, ditemani dengan Taehyung kan jadi tambah istimewa. Ralat, ditemani dan dibayari oleh Taehyung, pria lucu yang dia suka. Kurang indah apa coba hari Jungkook?

“Kapan lagi aku dapat makanan gratis begini.” jawab Jeongguk sekenanya.

Tunggu sebentar, apa barusan Jeongguk menyebutkan dirinya dengan kata 'aku'?

Taehyung tidak salah dengar, kan?

“Ih, terserah. Tapi kamu tuh bikin aku tekor, tau!”

Jeongguk tersenyum kecil. Sudut bibir kirinya terangkat, sebelum akhirnya dia kembali menyuapkan ramyeon ke dalam mulutnya.

Setiap orang punya caranya masing-masing dalam menunjukkan rasa suka mereka pada seseorang. Setiap orang punya caranya masing-masing untuk memperlakukan orang yang disuka.

Ada yang caranya manis dan tenang seperti Jungkook. Ada juga yang sengaja bertingkah menyebalkan dan meledek orang yang disuka seperti Jeongguk. Namun satu hal yang pasti, tidak ada yang namanya salah ataupun benar. Setiap orang punya caranya masing-masing dalam mengekspresikan perasaannya.

Jeongguk suka menjahili Taehyung. Suka ketika anak itu merengut sebal dan marah-marah lucu. Meski Taehyung menganggap dirinya menyebalkan, tidak manis seperti Jungkook.

Ya, kalau boleh jujur sih Jeongguk iri setengah mati pada adik kembarnya.

Taehyung selalu menganggap sikap Jungkook manis, membuat kadar ketampanan adiknya itu menaik pesat dan berada 200 level di atas Jeongguk—bagi Taehyung. Padahal realitanya, sebuah fakta tanpa perlu adanya bukti empiris menyatakan bahwa Jungkook dan Jeongguk itu sama-sama tampan. Keduanya tampan dan berwajah sama, tentu saja. Hanya tahi lalat dan model rambut mereka yang dapat menjadi pembeda keduanya jika kalian hanya melihatnya sekilas saja.

Tapi tetap saja. Image Jeongguk di mata Taehyung sudah terlalu terbentuk sebagai sosok yang menyebalkan. Selalu mengganggu Taehyung dan bersikap semaunya. Namun, memang begitulah cara Jeongguk menyalurkan perasaannya untuk Taehyung.

Setelah lebih dari tiga tahun hanya bisa menjadi pengagum dalam diam. Mengagumi Taehyung ditemani oleh sunyi, tanpa ada sepatah kata pun yang berani dia keluarkan untuk sekadar menyapa atau mengajak berkenalan. Jeongguk harus menghadapi kenyataan aneh, takdir yang begitu jahil mempermainkan dirinya dan juga adik kembarnya.

Baik Jeongguk ataupun Jungkook, keduanya sudah jatuh cinta pada Kim Taehyung.

Keduanya memang memiliki perasaan pada Taehyung. Namun Jungkook sudah beberapa langkah di depan Jeongguk. Adiknya itu jauh lebih pintar membaca situasi. Jungkook tidak takut untuk mengambil resiko. Padahal biasanya dia selalu menjadi orang yang paling suka mengamati dalam diam dan tidak pernah neko-neko.

Jungkook selalu menjadi pribadi yang lebih tenang. Mempertimbangkan banyak hal dan mengamati situasi. Jungkook selalu mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil sebuah tindakan. Sedangkan Jeongguk selalu menjadi pribadi yang blak-blakan. Tidak pernah takut untuk menyuarakan pendapatnya.

Sayangnya, hal yang sama tidak terjadi jika itu bersangkutan dengan urusan hati dan perasaan. Padahal ini bukan kali pertama Jeongguk menyukai seseorang. Dirinya bahkan sudah memiliki mantan kekasih sebanyak empat orang di bangku SMP dan SMA dulu. Jumlah mantan pacar Jeongguk menang banyak dibanding Jungkook yang memiliki nol mantan, alias belum pernah berpacaran.

Orang-orang kebanyakan keburu menyerah untuk menyukai Jungkook, karena pria itu terlalu kalem dan terlalu perfeksionis. Lalu pada akhirnya mereka akan memuja Jeongguk sepenuh hati, tanpa menyisahkan tempat untuk Jungkook. Meski, ya, sebenarnya wajah keduanya sama-sama tampan.

Kenapa bisa Jeongguk menjadi pengecut dan pengagum Kim Taehyung dalam diam selama tiga tahun ini?

Kenapa juga Jungkook bisa seberani dan seterbuka itu akan perasaannya pada Taehyung?

“Kamu mau melamun sampai itu ramyeon ngembang keluar dari wadahnya?”

Jeongguk tersadar setelah beberapa menit tenggelam dalam pikiran bodohnya: membandingkan dirinya dengan Jungkook lagi.

Benar saja kata Taehyung. Ramyeon di hadapan Jeongguk terlihat mulai mengembang dan menyisahkan sedikit kuah saja.

“Kalau ga enak ya tinggal minta beliin lagi sama lo.” jawab Jeongguk asal.

Taehyung mengehela napasnya, entah sudah yang ke berapa kali sejak sore. Kira-kira Jeon Jeongguk yang menyebalkan ini enaknya diapakan, ya?

Oh, disayang-sayang saja, Taehyung-ah!

Tapi tentu saja Taehyung tidak melakukan saran itu. Dia malah mendengus kesal, lalu mengalihkan pandangannya ke arah luar jendela. Matanya kini sibuk melihat kendaraan yang berlalu-lalang, membelah jalanan Seoul yang tidak pernah mati dari hiruk-pikuk aktifitas ibu kota yang padat akan kendaraan. Suara klakson, lampu lalu lintas yang terus menerus berganti warna—hijau, oranye dan merah. Lalu para pejalan kaki yang juga ingin segera sampai pada tempat tujuannya.

Ya, Taehyung kini lebih memilik memandangi itu semua di banding pria tampan di sebelahnya.

Jeongguk diam sebentar. Memandangi wajah indah Taehyung dari samping yang kini terasa begitu dekat. Terlalu dekat bahkan, Jeongguk tidak pernah berani berharap bahwa dirinya bisa berada di jarak sedekat ini dengan Taehyung.

Bulu mata Taehyung begitu panjang dan tebal, pantas saja matanya selalu terlihat indah. Hidungnya mancung dengan sempurna. Bibirnya tebal dan berwarna merah muda. Ternyata memang Taehyung seindah ini, ya?

Indah memang. Yang tidak indah itu ya kisah cinta Jeongguk dengan Taehyung yang mungkin saja tidak berakhir bahagia.

Tapi Jeongguk masih boleh berharap bukan?

Jeongguk masih boleh berharap kalau memang pada akhirnya hati Taehyung bisa sepenuhnya dia miliki?

Jeongguk tidak bisa munafik. Dirinya masih berharap kalau ada sebuah ruang kecil di dalam hati Taehyung untuk dirinya. Harapan ini tidak terlalu muluk kan?

. . .


Author's Note: Hallo, manteman! maafkan kalau narasi ini penuh dengan typo tanpa aku sadari. Karena aku memang anaknya hidup ditemani oleh si typo dan mataku buriknya sebelas dua belas sama karakter Taehyung kalau ga pakai kacamata. Huhuhu. Tapi semoga kalian memaklumi dan tetap bisa menikmati chapter ini ya! xixixi.

All the Love, Bae.

Identical Twins – 96

I hope that i have a place in your heart too.

-First Love, Utada Hikaru-


Jeongguk berdiri, menyandar pada tembok tepat di sebelah pintu masuk dorm Taehyung. Ya, dia sudah berdiri di sana selama lima belas menit karena orang yang ditunggu-tunggu belum juga muncul.

Salju tidak turun, namun sore itu cukup berangin. Kasihan sekali Jeongguk disuruh menunggu di luar seperti itu. Kalau dia terkena flu selama beberapa hari ke-depan apa Taehyung bersedia tanggung jawab?

Oh, tentu tidak.

Identical Twins – 90

And i went home and dreamed of you that night.

Falling in Love. -J.Střelou-


Ada sepercik amarah dalam hati Jungkook ketika dia melihat pria manis itu turun dari boncengan motor kakak kembarnya. Ya, ada perasaan kecewa dan marah. Namun Jungkook sadar, dia tidak memiliki hak apa pun atas Kim Taehyung.

Mau Jungkook marah, kecewa, membanting meja, menabrak motor kakak kembarnya, pada akhirnya semua akan kembali lagi ke poin sebelumnya: Jungkook tidak punya hak.

Malam itu Jungkook tidak langsung kembali ke rumahnya. Karena rasanya terlalu berat untuk berhadapan langsung dengan sang kakak. Pikirannya kalang kabut, perasaannya juga tidak jelas. Anak itu memarkirkan mobil sedannya di dekat taman komplek rumahnya, untuk mengumpulkan pikiran jernihnya sebentar.

Dia tidak ingin kalau hubungannya dengan sang kakak akan buruk hanya karena dirinya sedang dikuasai oleh perasaan ini. Jungkook tidak ingin kalau dia, Jeongguk dan Taehyung akan terjebak dalam situasi sulit di kemudian hari nanti. Padahal mereka memang sudah terjebak di sana.

Jungkook benci untuk menyadari kalau dirinya dan Jeongguk terjebak dalam kisah cinta segitiga seperti ini. Meskipun sang kakak tidak pernah mengatakan “Ya.” secara langsung, namun Jungkook cukup paham. Seumur hidup dia menghabiskan waktu untuk tumbuh bersama keluarga kecilnya, mama, papa dan Jeongguk. Mana mungkin hal semacam ini Jungkook tidak paham?

Tentu Jungkook paham, kakaknya juga terjerat oleh pesona Kim Taehyung yang begitu kuat. Kim Taehyung yang bisa terlihat manis, lucu, tampan dan indah di saat yang bersamaan. Keduanya sadar, namun memilih untuk pura-pura bodoh.

Saat mobilnya memasuki garasi rumah, Jungkook lihat motor sang kakak sudah terparkir di sisi pojok garasi. Ternyata dia sampai di rumah terlebih dahulu. Berarti seharusnya Jeongguk langsung pulang tak lama setelah Jungkook meninggalkan mereka, bukan?

Dalam hati Jungkook bertanya-tanya. Dia harus bersikap bagaimana saat menghadapi sang kakak nanti? akankah hubungan mereka juga menjadi canggung?

Jungkook mengacak-acak rambutnya. Padahal tadi dia sudah menenangkan diri sebentar, dengan harapan kalau pikirannya akan lempeng-lempeng saja ketika sampai di rumah. Tapi kok rasanya semacam percuma sekarang.

Masa bodoh, Jungkook tidak boleh larut dan dikuasai oleh pikiran-pikiran dan rasa khawatirnya yang berlebihan.

Jungkook bisa bernapas lega karena baik orangtua ataupun sang kakak sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Rasanya malam ini Jungkook hanya ingin langsung istirahat dan pergi tidur saja. Sudah ada tenaga lagi yang tersisa bahkan hanya untuk sekadar menyapa orang lain. Semuanya terkuras habis oleh pikiran buruk dan perasaannya tadi.

Setelah selesai dengan kegiatan membersihkan badan, Jungkook langsung berbaring di atas kasurnya. Kamarnya gelap dan sunyi, karena ini yang Jungkook butuhkan—sebuah ketenangan.

Ya, Jungkook memang bilangnya membutuhkan ketenangan. Tapi lihat apa yang dia lakukan saat ini?

Jari-jarinya dengan lincah malah membuka room chat-nya dengan Taehyung. Entah anak itu sudah membaca pesan-pesan dari Jungkook tadi atau belum, Jungkook tidak tahu. Namun masih belum ada balasan atau pesan apa pun.

Apa yang kamu harapkan, Jungkook?

Dia tutup room chat itu. Kalau terus-terusan memandangi ruang chat-nya dengan Taehyung bisa-bisa malah membuat dia uring-uringan.

Apa kegiatannya berhenti di situ?

Wah, tentu tidak. Kini Jungkook malah membuka aplikasi twitter. Berharap setidaknya ada kabar atau Taehyung update sesuatu yang bisa menyembuhkan perasaan uring-uringan dan tidak tenang yang dirasakan.

Bukannya Taehyung, malah postingan Jimin yang menarik perhatian matanya. Sebuah screenshot berisikan percakan Jimin dengan Taehyung.

Jungkook langsung buru-buru membuka room chat-nya Taehyung lagi. Masa bodohlah, kini dirinya malah ikut khawatir dengan pria manis itu. Tanpa pikir panjang, Jungkook langsung membiarkan ibu jarinya menari-nari, merangkai kata dan kalimat yang menunjukkan rasa khawatirnya pada Taehyung.

Tidak, Jungkook tidak menyesal mengirimi Taehyung pesan lagi. Justru dia malah menanti-nanti balasan dari pria itu.

Hingga beberapa menit kemudian ada sebuah notifikasi dari Taehyung.

Isinya rentetan kalimat yang tidak Jungkook pahami. Beberapa—kebanyakan—kata yang ada di dalam pesan itu diketik secara acak. Terlalu banyak typo dan bahkan bukan nama Jungkook yang diketik oleh Taehyung.

Kemudian matanya menangkap nama Jeongguk dan dirinya disebutkan oleh Taehyung.

Tadinya ada rasa nyeri di dadanya. Seperti jantung dan ulu hatinya diremas-remas, nyeri, perih, apa pun itu segala hal yang bisa menggambarkan sebuah rasa sakit.

Namun tak lama senyuman tipisnya mengembang.

Kenapa dia beda dari Jungkook yang tampan dan manis???

Tau ga rasanya kayak dipergok selingkuh. Padahal aku ga selingkuh dan emang ga selingkuh???

Tidak ada pernyataan apa pun yang menyatakan perasaan Taehyung terhadap Jungkook. Tapi kenapa Jungkook tidak bisa menahan senyumannya?

Dia balas pesan salah sambung dari Taehyung itu dengan senyuman terlebar yang menghiasi wajah tampannya. Namun, hingga beberapa saat pesannya belum juga mendapat balasan dari Taehyung.

Tahu tidak? bocah itu memang tidak membalas pesan Jungkook, tapi malah sibuk update sesuatu di twitter pribadinya. Membuat jari-jari Jungkook yang jahil ingin meninggalkan jejakpada kolom reply.

Lagi, lagi dan lagi. Kim Taehyung bisa membuatnya tersenyum dan tertawa lepas. Jungkook bahkan lupa kalau beberapa waktu lalu dirinya sedang pusing dan dibuat uring-uringan. Oleh siapa? Ya, oleh oknum T juga. Taehyunglah tersangka yang membuat Jungkook tidak tenang namun bisa mengangkat rasa khawatir pria itu dan menggantikannya dengan senyuman.

Kookie, maaf banget sebelumnya. Tapi kayaknya aku harus block kamu dulu dari semua socmed.

Malam itu Taehyung memblokir semua media sosial milik Jungkook. Tapi entah mengapa Jungkook malah bisa tidur dengan nyenyak. Senyumnya tidak luntuh bahkan sampai pria itu masuk ke dalam mimpi indahnya. Mimpinya indah, karena malam itu Taehyung menghampiri Jungkook di mimpinya.


Matilah Taehyung. Semalaman dirinya keringat dingin dan tidak bisa tidur dengan nyenyak.

Bagaimana Taehyung bisa tidur dengan nyenyak kalau dirinya baru saja membuat sebuah kesalahan besar semalam. Sekarang Taehyung harus bagaimana ya, teman-teman?

Bagaimana dia bisa menghadapi Jungkook tanpa ada rasa malu?

Tentu saja Taehyung masih memiliki rasa malu. Meski keseringan dirinya sendiri yang lebih sering membuat malu, tapi kan kalau berhubungan dengan orang yang disuka pasti kan rasanya berbeda.

Matanya dan pipinya bengkak karena hanya bisa tidur tiga setengah jam. Hidungnya merah dan tersumbat. Efek begadang memang kurang baik untuk badannya. Untung saja hari ini dia tidak berencana pergi ke mana-mana. Tinggal menunggu Jimin saja yang berjanji untuk datang ke rumahnya siang ini, kemudian sahabatnya itu berjanji akan menginap untuk malam ini.

Taehyung tidak ingin bangun pagi, karena dirinya baru bisa tidur pukul 5:45 pagi tadi. Namun ketukan dari luar pintu kamarnya membuat Taehyung terpaksa bangun dari kasur kesayangannya.

Taehyung melihat jam di atas nakas, kini waktu baru menunjukkan pukul 10:20 pagi. Tapi sang ibu sudah mengetuk pintu kamar Taehyung. Lalu pintu kamar itu sedikit dibuka, disusul oleh kehadiran ibunya yang sedang mengintip sedikit ke dalam kamar Taehyung.

“Sayang, ada temanmu datang tuh. Sana cuci muka dulu, kemudian turun ke bawah. Sekalian nanti kamu ajak dia untuk sarapan. okay?”

Loh, harusnya Jimin baru datang ke rumahnya pukul dua siang. Kenapa tiba-tiba sahabatnya itu datang pagi-pagi seperti ini?

Ah, mungkin urusannya sudah selesai.

Dengan malas Taehyung bangkit dari kasurnya. Lalu anak itu melakukan sedikit peregangan sebelum akhirnya pergi menuju kamar mandi.

Kaki Taehyung melangkah riang saat menuruni anak tangga, berharap kalau dirinya bisa memeluk Jimin sambil berkeluh kesah akan kebodohannya semalam. Inginnya begitu..

“Jim, kamu katanya haru—Kookie..?”

Tuhan, kenapa pria yang paling ingin Taehyung hindari saat ini malah berada tepat di hadapannya?

Kenapa??

Kenapa Jungkook malah tersenyum lebar sambil melihat Taehyung saat ini???

Taehyung yang masih mengenakan piyama tidurnya, sandal dalam rumah dan tidak lupa juga wajah bengkaknya karena semalaman tidak bisa tidur. Untung saja dia sempat untuk mencuci mukanya terlebih dahulu tadi.

”..uhm, pagi?” sapa Jungkook.

Bisa bayangkan tidak bagaimana wajah Taehyung saat ini?

“K-kenapa kamu di rumahku? aduh.”

Jungkook malah tertawa. Tertawa karena melihat ekspresi lucu dari wajah Taehyung.

“Habisnya kontakku kamu blokir semua. Jadi aku samperin aja ke rumah kamu, haha.”

“Jungkook, aku kayaknya ga sanggup deh buat ketemu kamu dulu. Kalau aku usir kamu pulang gimana?” tanya Taehyung polos.

Sayangnya sang ibu yang sedari tadi menguping pembicaraan kedua anak muda itu keburu menginterupsi Taehyung. Tidak jadi deh Jungkook diusir oleh dia. “Loh, sayang, kenapa masih di sini? Ayo ajak temennya sarapan bareng.”

“Ma, temen aku sibu—” belum selesai Taehyung berkata, Jungkook sudah langsung menjawab, “Ah, terima kasih tante. Kebetulan saya belum sarapan. Hehe.”

Pagi ini Taehyung harus pasrah. Rencananya untuk menghindar dari Jungkook sementara waktu ini nampaknya gagal. Dirinya tidak bisa menghindari Jungkook dan malah harus sarapan bersama dengan pria itu. Jungkook yang tampan kini duduk di sebelah kursinya, dengan senyum sumringah dan tidak berhenti menatap Taehyung dari arah samping. Jungkook seakan-akan tidak peduli kalau saat ini Taehyung sedang malu bukan main.


“Kamu curang banget. Padahal aku kan sengaja mau menghindar dulu, tapi kamu malah samperin aku ke rumah.” protes Taehyung. Jungkook hanya tertawa mendengar perkataan kelewat jujur dari Taehyung.

Saat ini mereka sedang duduk di kursi teras belakang rumah Taehyung. Udara pagi menjelang siang hari ini tidak begitu dingin, karena tidak turun salju selama beberapa hari. Tapi tetap saja Taehyung sibuk menggosok-gosokan kedua tangannya dari tadi.

“Dingin ya? Apa mau pindah tempat ngobrolnya?” Tanya Jungkook.

Namun Taehyung menggeleng, lalu menjawab, “Engga, kalau ngobrol di dalam nanti mama bisa nguping! aku malu tahu. Apa lagi kejadian semalam. Huft.”

“Omong-omong, Taehyung.. kalau aku ngajak ngobrol serius kamu boleh ga?”

Deg

Duh, Taehyung harus bereaksi apa ya?

Boro-boro ingin memikirkan reaksi apa yang tepat, saat ini rasanya jantung Taehyung sudah ingin mau copot. Keluar, melompat dari tubuhnya dan berkelana, meninggalkan Taehyung yang kalang kabut dibuat Jungkook.

“Ng-ngobrol serius apa, Kookie?”

“Aduh, aku gatau ini saat yang tepat atau engga. Tapi aku udah pikirin ini semaleman,” jeda sebentar, membuat Taehyung tidak bergeming di tempatnya. Menanti-nanti kalimat selanjutnya yang akan keluar dari dalam bibir Jungkook. Lalu Jungkook kembali berkata, “Aku suka sama kamu, Kim Taehyung.”

Taehyung sedikit membuka mulutnya, bukan karena dia ingin menjawab pernyataan Jungkook. Tapi karena dia kaget. Begitu kaget. Tapi Jungkook buru-buru mengatakan sesuatu lagi. “Kamu ga perlu jawab apa pun, kok. Aku cuma mau ungkapin perasaanku aja. Kamu boleh jawab kalau waktunya udah tepat nanti, saat kamu udah yakin sama perasaan kamu.”

Taehyung masih diam.

“Tapi, gapapa kan kalau aku ngasih perhatian lebih ke kamu? Perhatian untuk orang yang aku suka?”

Taehyung menggeleng, lalu buru-buru menganggukkan kepalanya. Maksudnya..

Aduh, tidak tahu, Taehyung juga bingung dengan perasaannya saat ini. Rasanya seperti ada popcorn yang meletup-letup di dalam dadanya.

Saat itu, Jungkook kembali selangkah lebih maju dari Jeongguk. Jungkook mengambil tindakan lebih cepat dari Jeongguk. Pada akhirnya, bukan lagi perkara siapa yang lebih lama mengaggumi. Tapi siapa yang lebih dahulu mengambil tindakan dan jujur akan perasaannya.


Author's note Guys, sudah mempersiapkan hati beluuuum? hahaha. Pada akhirnya akan ada yang menjadi sadboi dari si kembar nih. :(