Identical Twins – 140.
Why do our heart choose lovers that make us suffer?
– Bridgett Devoue -
. . .
Tidak ada bunyi decitan pintu, tidak ada bunyi ketukan sepatu yang berbenturan dengan lantai. Tidak juga ada banyak orang yang berlalu lalang di sana, tempat bernama Ver's House itu nampak sepi akan pengunjung. Hanya ada suara mesin penggiling kopi dan bisikan obrolan dari barista dengan sang kasir dari balik bar kecil di dekat pintu masuk.
Jungkook duduk seorang diri di bagian pojok kiri ruangan, sengaja mengambil sisi pinggir yang dekat dengan jendela besar. Taehyung cenderung senang memilih tempat duduk di dekat jendela, Jungkook sampai hafal kebiasaan pria itu dalam waktu singkat. Taehyung suka melamun memandangi langit, melihat orang yang berlalu lalang di jalanan ataupun hal yang menarik perhatiannya di luar sana.
Belum terlihat adanya tanda-tanda kehadiran Taehyung di sana. Jungkook terlihat duduk dengan tenang sembari membaca buku yang sengaja dia bawa. Wajahnya sedikit bercahaya karena pantulan sinar matahari yang menembus kaca besar di sisi kanannya. Tidak lama benda bulat—alat pemberitahuan—di mejanya menyala dan bergetar, menandakan kalau pesanan yang Jungkook pesan tadi sudah siap di atas bar sana.
Buku yang tadi dia baca langsung ditutup dan ditaruh dengan hati-hati ke atas meja, kemudian Jungkook bergegas mengambil minumannya. Dia sempat tersenyum kecil dan mengatakan terima kasih kepada si barista yang melayaninya, sebelum akhirnya Jungkook kembali melangkah ke arah tempat dimana dia duduk tadi.
Tiba-tiba saja Jungkook merasakan ada seseorang yang menyentuh pundak bagian kanannya. Saat Jungkook menoleh, wajah lucu Taehyung dengan senyuman kotaknyalah yang dia lihat.
Taehyung melirik jam di tangannya sebentar. “Kaget ga? Hahaha. Kookie, maaf ya aku telat sepuluh menit.”
Jungkook menggeleng dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Gelengan kepala itu adalah sebuah jawaban dari kedua hal yang dikatakan Taehyung. Jungkook tidak kaget, tidak juga keberatan kalau Taehyung terlambat selama sepuluh menit. Karena menunggu Taehyung itu tidak pernah terasa lama dan membosankan.
Dia letakkan minumannya di atas meja, lalu menarik bangku untuk Taehyung duduk. Setelah itu Jungkook mengambil tempat duduknya yang semula di seberang Taehyung, sehingga kini kedua pria itu duduk berhadapan.
Ingin sekali Jungkook bertanya pada Taehyung, sebenarnya hal apa yang ingin dikatakan pria manis itu sampai-sampai mengajaknya bertemu seperti ini? namun kata-katanya tertahan di lidah Jungkook, dia menanti Taehyung sendiri yang memberi tahunya.
Lagu Something dari The Beatles mengalun indah, mengisi seluruh kafe yang tadi sempat terasa sepi. Suara penggiling kopi maupun bisik-bisik suara dari dari balik bar sudah tidak lagi terdengar. Jungkook dan Taehyung diam untuk beberapa saat, membiarkan lagu yang terputar itu mengisi kekosongan.
“Aku pesen minuman dan makanan dulu, ya?” kata Taehyung, kemudian dia buru-buru berdiri dan pergi.
Taehyung meremas-remas kedua telapak tangannya, berupaya agar keringat di tangannya bisa berhenti keluar. Rasanya kini Taehyung begitu gugup, padahal dari pagi dia sudah mencari banyak ketenangan. Anak itu sengaja berdoa ke gereja dan juga ke kuil, katanya dengan berdoa secara dobel dirinya juga akan mendapat ketenangan yang dobel. Nyatanya tetap saja, ketika dirinya diharuskan berhadapan dengan Jungkook secara langsung perasaan itu muncul lagi. Debaran jantungnya tidak bisa dia kontrol lagi.
Anak itu tidak kembali ke kursinya, lebih memilih menunggu minumannya dan berdiri di depan kasir. Berpura-pura melihat menu lainnya yang sebenarnya tidak ada satu dari gambar di depannya itu yang masuk ke dalam pikirannya. Dalam hati Taehyung sibuk merangkai kata dari kalimat yang akan dia utarakan pada Jungkook nanti.
Setelah malu karena berdiri terlalu lama di depan kasir tanpa menambah pesanan, akhirnya Taehyung mengalihkan fokusnya. Dia berpura-pura menikmati pajangan bunga yang mengiasi seisi kafe. Beberapa tanaman yang merambat, menghiasi dinding dan atap kafe tanpa memberi kesan berantakan—justru indah. Lalu bunga-bunga cantik dengan warna beragam yang dipajang di meja dekat tangga, Taehyung sibuk berpura-pura mengagumi keindahan mereka.
Taehyung tidak tahu, apakah Jungkook sedang memperhatikan dirinya saat ini? karena kalau iya, Taehyung sudah pasti malu sekali.
Sudahlah, memang Kim Taehyung itu tidak peka yang menyerempet bodoh. Bahkan tanpa dia bersikap aneh pun Jungkook akan selalu menaruh pandangan dan perhatiannya pada Taehyung secara penuh. Jungkook akan memperhatikan segala hal yang Taehyung lakukan, merekam setiap detail kecil dari diri Taehyung di dalam ingatannya. Seperti apa yang dia lakukan saat ini; memandangi Taehyung sambil tersenyum kecil.
Saat tahu kalau Taehyung sedikit salah tingkah dan menolak untuk diperhatikan lebih lanjut oleh Jungkook, pria itu langsung mengalihkan perhatiannya. Dia ambil buku yang selama beberapa saat diam di atas meja, kemudian Jungkook melanjutkan kegiatan membacanya. Membiarkan Taehyung masih sibuk berpura-pura tertarik dengan berbagai bunga di sana.
Butuh waktu lima menit untuk akhirnya Taehyung kembali ke tempat duduk mereka. Tangannya membawa segelas vanilla milkshake dan piring berisikan sepotong strawberry cheesecake. Dia taruh semua bawaannya ke atas meja, pelan-pelan sekali agar tidak mengganggu Jungkook yang sedang membaca buku. Padahal alasan Jungkook membaca buku itu karena menunggu Taehyung yang sedang salah tingkah tadi.
Buku dengan sampul berwarna biru langit itu ditutup oleh Jungkook. Kepalanya yang semula menunduk ke arah buku, kini dia angkat dan menatap ke arah Taehyung. “Udah? mau makan dulu atau langsung ngasih tahu aku apa yang mau kamu omongin, hm?”
Semalaman Jungkook memikirkan hal apa yang mungkin akan dikatakan oleh Taehyung hari ini. Apa ini soal penyataan perasaannya waktu itu atau hal lain? Memang sih dia jadi sulit untuk tidur semalaman, namun Jungkook sudah memantapkan hati untuk segala jawaban Taehyung kalau memang hal itu yang akan dia bahas.
“Anu...,” kata Taehyung menggantung.
Haruskah Taehyung mengatakan langsung pada intinya saja?
Jungkook lagi-lagi bereaksi seperti itu, tertawa kecil untuk setiap hal yang Taehyung lakukan. Menganggap hal apa pun yang ada pada diri Taehyung itu menggemaskan, bahkan di saat sekarang perasaan Taehyung kocar-acir tidak karuan.
Hari ini Taehyung akan menjawab pernyataan perasaan dari kedua kembar Jeon itu. Taehyung memberanikan diri untuk akhirnya bisa bersikap tegas. Karena menurut Taehyung percuma, percuma kalau dirinya mengulur waktu dan memberi harapan palsu.
“Kamu jangan ketawa. Pembahasan hari ini bakal serius banget, tahu!” kata Taehyung. Dia protes pada reaksi Jungkook yang malah menertawai rasa gugupnya itu.
“Yaudah, kamu mau ngomongin apa Tae? aku diam deh ini dengerin kamu ngomong.”
Taehyung menarik napasnya dalam-dalam, mencoba membuat dirinya lebih rileks. Sebelum akhirnya dia berkata, “Soal pernyataan perasaan kamu waktu itu....”
Kan, benar. Jungkook sudah menduga ke mana arah pembicaraan Taehyung hari ini.
“Ya?”
“Akuudahsiap.” jawab Taehyung, cepat sekali. Bahkan tidak sampai memakan waktu satu detik untuk Taehyung mengatakannya. Kepalanya dia tutup dengan kedua telapak tangannya, kemudian dia sembunyikan dan tempelkan ke atas meja.
Jungkook dapat mendengar perkataan Taehyung, meski anak itu sengaja mengatakannya dengan sangat cepat. Jungkook mendengarnya dengan jelas. Namun dia juga ingin mendengar Taehyung mengatakannya dengan pelan-pelan, kalau bisa sambil menatap matanya juga.
Kamu ingin membuat Taehyung terkena serangan jantung kah Jeon Jungkook?
“Taehyung, aku engga bisa denger dengan jelas. Coba ulangin, tadi kamu ngomong apa?” Jungkook berbohong.
Satu tangannya menepuk-nepuk lengan Taehyung. Meminta anak itu untuk keluar dari persembunyiannya—wajahnya yang disembunyikan. Dilihatnya kini kedua telinga Taehyung memerah. Beberapa detik kemudian akhirnya Taehyung berani untuk menegakkan tubuhnya kembali, dia melepaskan telapak tangan yang menghalangi wajah lucunya itu.
“Coba ngomongnya pelan-pelan, biar aku percaya dan denger dengan jelas.” kata Jungkook.
Taehyung perlahan memberanikan diri untuk menatap mata Jungkook. Tatapan mata Jungkook begitu tenang dan senyuman kecilnya itu terasa teduh. Taehyung merasakan sebuah kenyamanan dan ketenangan seakan-akan menular pada dirinya. Rasa gugup yang sedari tadi menggentayangi Taehyung perlahan menghilang.
“Kamu bilang aku bisa jawab pernyataan kamu waktu itu saat aku udah siap, kan? sekarang aku udah siap buat jawab,” kata Taehyung.
Belum ada kata tidak ataupun iya yang Taehyung lontarkan. Tapi Jungkook tetap memberikan senyuman teduh itu. Membuat desiran pada dada Taehyung terasa begitu kuat, rasanya menyiksa namun juga nyaman. Aneh sekali.
“Aku juga suka sama kamu. Aku nyaman setiap kali ngabisin waktu bareng sama kamu. Jadi, ya...,”
“Ya, apa?” tanya Jungkook lembut.
“Ya udah, gitu! Ih, Kookie masa harus aku perjelaaas?” amuk Taehyung. Tangan Jungkook yang terbebas di dekat tangannya dia pukul dengan pelan.
“Hahaha. Jadi kamu sekarang pacarku, hum?”
Sialan. Jungkook ini kok malah senang sekali meledek Taehyung yang sedang malu-malu?
“I-ih! Kalau kamu ngeledek terus nanti aku tarik lagi aja deh jawabannya, ya?”
Dengan itu tawa Jungkook pecah. Dia tarik salah satu tangan Taehyung yang terbebas di atas meja, kemudian dia genggam. Ibu jarinya mengelus punggung tangan Taehyung dengan lembut. “Hallo, Kim Taehyung pacarnya Jeon Jungkook?”
Taehyung tidak lagi pura-pura merajuk. Dia membiarkan Jungkook menggenggam dan mengelus tangannya dan mengatakan kalimat mengandung keju seperti barusan. Pipinya yang terasa panas sudah tidak bisa lagi menyembunyikan jejak rona merah pada pipinya.
“Hih, kamu keju banget! Aku malu tahuuu.”
Namun hati Taehyung belum bisa tenang, karena setelah ini dia masih harus bertemu dengan Jeon Jeongguk. Setelah ini akan terasa jauh lebih sulit dari pada memberikan jawaban dari pernyataan cinta Jungkook. Menolak perasaan saudara kembar pacarnya itu akan terasa jauh lebih sulit.
Namun Taehyung harus tetap melakukannya. . . .
. . . Setelah melalui pergulatan batin selama beberapa saat, Taehyung akhirnya berani mengatakan pada Jungkook tentang pertemuannya bersama Jeongguk setelah ini. Dia tidak mengatakan secara rinci, namun Jungkook terlihat paham tentang apa yang ingin Taehyung katakan.
Pacarnya itu berkata, “Engga apa-apa kok. Jeongguk berhak dikasih kepastian kan? Nanti aku parkir mobil agak jauh, supaya ga mengganggu privasi kalian.”
Jungkook memberikan mereka ruang untuk menyelesaikan segalanya dengan tenang sampai tuntas. Tidak ada rasa cemburu ataupun pikiran buruk akan kedua orang itu. Karena Jungkook percaya pada kakak kembarnya, juga pada Taehyung yang kini sudah resmi menyandang status sebagai pacarnya itu.
Lima belas menit sebelum Jeongguk sampai, Jungkook meninggalkan kafe. Membiarkan Taehyung duduk menunggu kehadiran Jeongguk sendirian. Mobilnya dia parkir selang beberapa gedung dari bangunan bernama Ver’s House itu, agar kakak kembarnya tidak mengetahui eksistensi Jungkook di sana.
Telapak tangan Taehyung basah, keringatnya tidak berhenti menetes sejak lima menit lalu. Jantungnya berdebar, namun debarannya berbeda dengan yang terjadi saat dirinya bertemu Jungkook tadi. Ada banyak pertanyaan yang sedang memenuhi kepala Taehyung sekarang, begitu banyak sampai rasanya Taehyung mual.
Lebih baik aku kasih tahu soal Jungkook dan aku juga engga, ya?
Kalau Jeongguk masih kukuh minta kesempatan gimana?
Kalau nanti dia dan aku jadi awkward gimana?
Mereka bakal baik-baik aja kan? Jungkook dan Jeongguk bakal baik-baik aja kan?
Bukan maksudnya Taehyung untuk besar hati atau terlalu percaya diri, tapi memang begitulah yang terjadi. Kedua pria kembar itu menjatuhkan hatinya pada orang yang sama, pada pria manis, tampan, lucu dan indah bernama Kim Taehyung. Tentu saja tidak ada yang bisa disalahkan kalau sudah yang nama urusan hati dan perasaan.
Taehyung termenung, larut dalam bisikan-bisikan pertanyaan dalam kepalanya yang begitu mengambil alih pikirannya. Hingga dirinya tidak menyadari kehadiran pria berambut pirang yang sudah duduk di kursi seberang Taehyung. Kedua tangannya menangkup rahangnya, lalu berpura-pura menatap Taehyung dengan datar. Aslinya dia menanti Taehyung untuk segera sadar, kembali dari lamunannya yang sepertinya begitu jauh itu.
Dia ketuk meja di hadapannya dengan jari telunjuk beberapa kali. Membuat Taehyung akhirnya kembali ke permukaan bumi, setelah beberapa saat berkelana ke luar angkasa dan mengelilingi matahari bersama enam planet lainnya. Bercanda, teman-teman!
Taehyung nyaris terlonjak ketika menyadari kehadiran Jeongguk di depannya. “Loh, kamu udah sampai?”
Jeongguk hanya menggeleng keheranan. Ternyata Taehyung sungguh-sungguh melamun dari tadi. Apa yang mengganggu pikiran pria manis itu? dalam hati Jeongguk bertanya begitu.
Andai saja dia tahu apa yang akan Taehyung katakan padanya dalam beberapa waktu ke depan.
“Mikirin apaan, sih? Sampai ngelamun begitu?” tanya Jeongguk. Tangannya menarik gelas minuman Taheyung yang kini tinggal tersisa setengah saja. Lalu menyesapnya tanpa izin terlebih dahulu.
Taehyung ingin protes, namun tidak jadi. Sepertinya kini bukan saatnya untuk bertengkar dan beradu argumen dengan Jeongguk.
“Engga mikirin apa-apa, kok. Kamu mau pesen minuman?” tanya Taehyung.
Jeongguk menggeleng. Perutnya sudah kembung karena diajak pergi ke kafe satu dan lainnya seharian ini, sepertinya dia sudah tidak dapat menampung minuman manis apa pun lagi.
“Lo kenapa tiba-tiba ngajak gua ketemuan begini? Mau ngomong serius soal apa?”
Taehyung diam sebentar. Dia menggerematkan buku-buku jarinya hingga berbunyi, sepertinya sulit sekali menyembunyikan rasa gugupnya.
“Aku mau ngomongin soal omongan kamu..., soal perasaan kamu dan kesempatan yang kamu minta waktu itu.”
deg. Jeongguk belum siap untuk ini, meski hatinya udah mempersiapkan jawaban terburuk dari Taehyung. Tapi apakah harus secepat ini?
“Bentar, gua belum siap banget ini. Gua tarik napas dalem-dalem dulu ya, Kim?”
Jeongguk sungguhan menarik napasnya dalam sekali, matanya dia pejamkan sebentar sebelum akhirnya dia menghembuskan napas perlahan. Taehyung jadi semakin tidak enak hati untuk segera mengatakannya.
Dibukalah itu kedua mata Jeongguk. Kemudian bola mata cokelatnya menatap Taehyung, mengunci tatapannya. Dia biarkan mereka beradu pandang selama beberapa saat, hingga akhirnya tatapan Taehyung berubah menyendu. Jeongguk langsung tahu apa yang akan Taehyung katakan padanya.
“Engga apa-apa, omongin aja apa yang mau lo omongin ke gua. Engga perlu ga enak segala.” kata Jeongguk. Pria itu tersenyum kecil, meski dalam hati rasanya begitu sakit. Nyeri, dadanya terasa begitu nyeri.
“Jeongguk, maaf....”
Dirinya sudah benar-benar kalah kali ini. Jeongguk benar-benar sudah kalah.
“Secepat ini, ya? Gua kira masih ada sedikit waktu lagi buat gua. Haha.”
“Maaf, aku engga bisa Jeongguk.”
Jeongguk pikir kalau mencintai Taehyung dalam diam itu adalah sebuah keputusan yang tepat. Jeongguk pikir kalau cinta itu membutuhkan banyak waktu, namun Jeongguk salah untuk berpikir begitu selama bertahun-tahun. Dia membuang banyak waktunya untuk hal yang sia-sia.
Cinta bukan hanya butuh waktu, namun harus ada juga sebuah keberanian. Kalau dia berpikir waktu akan menuntunnya bersatu dengan Taehyung tanpa adanya sebuah tindakan, Jeongguk pasti adalah orang terbodoh sedunia.
Lihatlah apa yang dia dapatkan dari pemikiran bodohnya itu? Jeongguk kehilangan orang yang begitu dia sayangi dan kagumi selama lebih dari tiga tahun.
Yang Jeongguk lakukan hanyalah menanam, memupuk perasaannya untuk Taehyung seorang diri. Dia membiarkan perasaannya tumbuh tanpa berusaha agar Taehyung mengetahui semua itu lebih awal. Kini menyesal pun sudah tidak ada guna, karena tidak akan ada yang berubah.
Taehyung berkata kalau dia tidak bisa. Taehyung tidak bisa menerima perasaan tulus Jeongguk, mau seberapa lama waktu yang Jeongguk habiskan untuk mengagumi pria itu sendirian. Karena hati Taehyung sudah terisi oleh orang lain, orang itu bukanlah Jeongguk.
Jungkook melihat Taehyung memalingkan wajahnya, menatap keluar jendela yang kini sudah dihiasi oleh langit gelap. Tidak ada bintang yang terlihat karena langit agak mendung, seakan-akan mendukung suasana hati Jeonguk yang sedang diselimuti rasa sedih itu. Jeongguk hanya dapat melihat wajah Taehyung dari samping, namun dia tahu kalau ada ekspresi sedih dan tidak enak di sana.
Ini bukan salah Taehyung, mungkin ada sedikit kesalahan yang dilakukan oleh Jeongguk. Tapi waktulah yang memang tidak berpihak pada mereka berdua. Mungkin juga Taehyung memang bukanlah takdir indah yang harus Jeongguk jalani, melainkan sebuah pelajaran hidup untuk dirinya.
“Ya mau gimana lagi, Kim Tae. Itu perasaan lo, gua engga bisa maksa apa pun dan lo juga engga bisa maksa perasaan lo sendiri.”
Taehyung bingung, kepalanya pusing sekali. Kenapa rasanya kali ini menolak perasaan seseorang terasa seberat ini?
Sejujurnya, Taehyung tidak tahu harus bersikap bagaimana lagi setelah ini. Suasana di ruangan seketika dingin dan penuh kecanggungan. Tidak ada hal yang bisa dia katakan lagi pada Jeongguk, kepalanya tiba-tiba saja kosong. Hanya ada rentetan permintaan maaf yang sebenarnya juga tidak begitu berguna.
Canggung. Jeongguk tidak begitu menyukai suasana yang sedang menyelimuti dirinya dan Taehyung saat ini. Mau berusaha tertawa lagi pun rasanya Jeongguk sudah nampak seperti orang gila yang habis ditolak cintanya.
“Kok jadi canggung, sih? Lo nolak perasaan gua bukan berarti dunia ini kiamat kan, Kim? udah, santai ajalah.”
Gimana caranya bisa santai? Taehyung ingin menepak kepala Jeongguk yang masih saja keras kepala seperti itu.
“Kamu habis ini langsung balik? Aku kayaknya udah harus balik ke asrama deh. Yeon—” perkataan Taehyung keburu dipotong oleh Jeongguk. “—Gua juga mau balik sih, tadi janjian sama anak-anak buat ngumpul di rumah Mingyu. Lo mau gua anter ke asrama?” tanya Jeongguk
Taehyung menggeleng. Bagaimana bisa dirinya menerima tawaran Jeongguk setelah menolak perasaan pria itu?
“Aku balik sendiri aja, hehe.”
Jeongguk hanya mengangguk mengerti. Dirinya tidak lagi keras kepala seperti biasanya.
“Engga apa-apa kalau lo balik sendiri, nih?” tanya Jeongguk sekali lagi.
“Iya, engga a-apa. Kamu mau langsung ke Mingyu?”
“Iya.”
“Oh, okay....”
Taehyung terlihat membereskan beberapa barangnya yang berada di atas meja. Sedangkan Jeongguk diam, memperhatikan tanpa mengeluarkan suaranya lagi.
“Aku kayaknya harus balik sekarang, gimana ya?”
“Ya udah, balik aja Kim. Hati-hati ya? perlu gua anter ke depan?”
Taehyung menggeleng kecil dan tersenyum canggung. “Aku sendiri aja. Sampai nanti?”
Pria manis itu berdiri dari kursinya, berpamitan pada Jeongguk sekali lagi sampai akhirnya dia melangkah pergi dari tempat itu. Meninggalkan Jeongguk yang mematung di tempatnya. Membiarkan Jeongguk merasakan nyeri pada dadanya seorang diri.
Entah kapan terakhir kali Jeongguk merasakan dadanya begitu sesak seperti sekarang. Dia pun juga tidak ingat. Bahkan dirinya tidak pernah merasa sesakit ini ketika putus dengan mantan-mantan pacarnya dulu. Namun kenapa mendapatkan penolakan dari Taehyung bisa meninggalkan efek yang begitu besar?
Dia susul langkah kaki Taehyung. Ingin sekali mengatakan kalau dirinya ternyata bukan sekadar menyukai pria manis itu. Sepertinya Jeongguk tidak sadar kalau perasaan kagum dan sukanya itu sudah tumbuh menjadi rasa sayang yang hanya bisa dia pendam sendirian.
Jeongguk ingin sekali saja bisa mengatakan apa yang dia rasakan itu dengan layak.
Kim Taehyung, maaf kalau ternyata gua sayang sama lo. Maaf kalau misalnya pernyataan ini buat lo bingung. Gua cuma engga mau nyesel dua kali. Gua cuma mau jujur aja, tanpa minta balasan apa pun dari lo.
Ingin sekali, Jeongguk ingin sekali mengatakan itu.
Namun langkah kakinya berhenti. Dirinya tidak jadi memanggil Taehyung yang sedang menyeberangi jalan. Dia diam, berdiri, mematung di sudut yang mungkin tidak bisa Taehyung lihat. Dia pandangi ke mana kaki Taehyung melangkah, hingga akhirnya dia berhenti di depan mobil sedan yang sangat dia kenali.
Kim Taehyung memasuki mobil adiknya dengan wajah lesu. Jeongguk tidak dapat menangkap siluet tubuh keduanya lebih jelas, namun dia bisa memastikan kalau tangan adiknya sedang mengelus kepala pria manis itu dengan pelan. Hingga akhirnya tubuh Taehyung masuk ke dalam pelukan Jungkook.
Tuhan, rasanya sakit sekali. Sesak sekali.
Jeongguk mengangkat tangan kanannya, kemudian dia tempelkan telapak tangannya pada dadanya. Dipikir kalau dia melakukan itu rasa sakit di dadanya akan berkurang. Nyatanya tidak ada efek apa pun yang ditimbulkan dari sentuhan telapak tangannya itu.
Kini yang terasa hanya perih dan panas di bagian dada dan matanya.
. . .
. . . Author's note:
HALLOOOO, maafin dua hari ini aku ada bukber di rumah dan baru kelar malem banget. Huhuhu, jadi agak sulit buat nyuri-nyuri waktu ngetiknya.
Chapter kali ini 3k words HAHAHA, wow. Gimana nih tim Jeongguk? si kakak ganteng udah resmi menyandang gelar sadboi of the year. Maafkan akuuu. Salah sendiri si Gguk menyia-nyiakan waktunya bertahun-tahun buat jadi pengagum rahasia! :(
Kooktae berlayar, yeay. Aku akan menampung si gguk supaya ga jadi sadboi lagi, nanti doi ku tawarin pundak untuk bersandar dengan nyaman~
Yuk guys pindah kapal yuk supaya ga sakit hatinya, karena si kooktae bakalan manis-manisan setelah ini :(. Udah ya, maafin aku banyak bacotie. Sampai jumpa di narasi berikutnya, xixixi.
All the Love, Bae