Identical Twins — 112.

Courage, dear heart.

C.S.Lewis


Jeongguk berdiri di depan pintu masuk lobi utama dorm Taehyung. Menunggu pria manis itu untuk menjemputnya yang sudah terlihat begitu menyedihkan—berdiri sendirian sambil menatap gundah ke arah sneakers-nya berulang kali.

Ini bukan kali pertama pria itu disuruh menunggu di depan seperti ini. Akses masuk ke dalam dorm Taehyung cukup sulit, jadi tidak sembarang orang dapat dengan mudahnya masuk. Dibutuhkan sebuah pin kamar dan kemudian di dalam sana—saat menuju lift dan tangga—setiap orang wajib memindai sidik jari untuk bisa masuk.

Ya, memang seketat itu keamanan di dorm Taehyung.

Kalau tatapannya bisa membuat sepatunya bolong, bisa dipastikan Jeongguk akan pulang dalam keadaan nyeker nantinya. Matanya menatap lurus ke arah sana—sepatunya—konsisten. Tapi pikirannya berkelana, menyiapkan dirinya untuk menghadapi situasi yang akan terjadi setelah ini. Jeongguk sudah tidak bisa lagi mengubah pikirannya, sudah tidak bisa beralasan kalau perutnya sakit atau ban motornya kempes saat menuju ke asrama kampus. Dia sudah terlanjur mengabari Kim Taehyung kalau dirinya sudah sampai dan menunggu di depan pintu masuk.

Tak lama kemudian Jeongguk bisa menangkap kehadiran Taehyung yang terlihat dari balik pintu kaca di hadapannya. Wajah Taehyung merah, hidung, mata dan telinganya, semuanya merah. Ternyata anak itu tidak bercanda perihal dirinya yang tadi menangis. Bibirnya melengkung ke bawah menghiasi wajahnya yang lucu dan ekspresinya begitu lesu.

“Ya ampun, anak TK mana nih nyasar ke dorm anak kuliahan?” ledek Jeongguk.

Taehyung belum sempat membalas ledekan pria yang kini rambutnya diwarnai blonde itu. Dia keburu ditinggal oleh Jeongguk yang langsung masuk ke dalam lobi utama asrama Taehyung.

Pandangan mata Jeongguk menyusuri seluruh sudut lobi sembari berjalan menuju student lounge yang berada di pojokan ruangan. Dia lihat adik kembarnya sedang sibuk menatap atau mungkin membaca sesuatu pada layar laptop Taehyung.

Kemudian Taehyung mempercepat langkah kakinya agar sejajar dengan Jeongguk, meski tadi dia sempat tertinggal beberapa langkah. Kini mereka berjalan beriringan menuju tempat di mana Jungkook duduk dengan anteng. Tidak ada pembicaraan lagi, karena Jeongguk lihat Taehyung tidak sedang dalam mood yang baik untuk diajak bercanda.

Saat jarak antara dirinya, Taehyung dan tempat di mana Jungkook duduk mulai menipis, dia lihat adik kembarnya itu menoleh ke arah mereka berdua. Dagunya dia angkat untuk menyapa sang kakak dan tersenyum santai.

“Oy, bang.” sapa Jungkook. Adiknya itu menyapa dengan santai, seperti situasi di antara mereka bertiga ini bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Sedangkan Jeongguk dari tadi keringat dingin mencari alasan untuk tidak jadi datang ke tempat ini.

Bagaimana bisa Taehyung dan adiknya bersikap se-casual ini?

“Lo dari tadi di sini?” tanya Jeongguk ke adik kembarnya. Kemudian tangannya menarik kursi kosong yang paling memungkinkan untuk dia duduki.

Student lounge di asrama Taehyung berada tepat di pojok ruangan dan dikelilingi oleh sebuah kaca besar. Jadi mereka bisa melihat bagian samping dan belakang asrama dengan jelas. Di dalam sana disediakan sebuah sofa duduk memanjang dengan beberapa meja bundar kecil, biasa digunakan untuk bersantai, makan dan juga belajar oleh para penghuni asrama. Di tengah-tengah ruangan ada sebuah meja billiard kecil yang biasanya tidak pernah menganggur, alias selalu dimainkan.

Biasanya lounge ini akan ramai. Beruntungnya februari masih masuk ke dalam libur musim dingin, jadi hanya ada mereka bertiga di sana saat ini. Mereka itu Taehyung dan kedua pria kembar yang kini terlihat begitu mencolok perbedaannya. Jungkook tetap dengan rambut gelap dan poni lurusnya, sedangkan Jeongguk kini mewarnai rambutnya menjadi pirang. Taehyung dan Jungkook duduk di bagian sofa panjang dan Jeongguk harus mengalah duduk di kursi kecil di sebelah kanan meja.

“Hahaha, lumayan. Tadi emang janjian sama si Tae, tapi tiba-tiba dia dapet kabar yang ngagetin katanya.” jawab Jungkook.

“Ih, emang ngagetin tau! Jangan ketawain aku lagiiii.” protes Taehyung ke Jungkook.

“Lo kenapa ga minta bantuin Jungkook aja? Segala gua disuruh dateng ke sini.”

“Perasaan tadi kamu yang nawarin bantuaaan! Terus si Kookie tuh cuma bisanya ngetawain aku aja. Dia lagi mode jahat hari ini.”

Jungkook dengan susah payah menahan tawanya. “Engga gitu, Tae. Kalian berdua kan satu fakultas, jadi aku pikir lebih baik si Jeongguk aja yang bantuin kamu. Biar lebih jelas.” jelas Jungkook.

Taehyung mengangguk seakan ikut setuju dan paham maksud perkataan Jungkook.

Berdiri dari tempatnya, Jeongguk melihat sang adik beranjak dari tempat yang diduduki tadi dan hendak meninggalkan dirinya dan Taehyung berduaan. Tangannya dimasukkan ke dalam kedua saku, kemudian berkata, “Tae, aku mau pesen sesuatu dulu nih sekalian beli minum ke vending machine di depan. Kalian mau nitip apa?”

Taehyung telihat memikirkan sesuatu, seperti menimbang-nimbang daftar apa saja yang ingin dia titipkan pada Jungkook nantinya. Kemudian anak itu bertanya, “Minuman hangat yang manis, sama cemilan boleh?”

Jungkook tertawa, tangannya hampir saja dengan bebas mengusap puncak kepala Taehyung kalau tidak ingat ada eksistensi kakak kembarnya di sana.

“Boleh. Susu hangat, bagaimana? Makanannya yang engga pedas dan asam kan?” tanya Jungkook

Lalu Taehyung mengangguk semangat.

“Lo mau kopi panas, bang?” tanya Jungkook ke kakak kembarnya.

“Boleh, dek. Americano, ya.”

Setelah itu Jungkook pergi, keluar dari lounge yang kini hanya menyisahkan Jeongguk dan Taehyung sebagai penghuninya. Sunyi, senyap, hanya itu yang terjadi selama beberapa detik. Karena Jeongguk tidak berkata apa-apa, bahkan untuk sekadar basa-basi memecah keheningan aneh antara mereka berdua.

Jeongguk sibuk bertanya-tanya, untuk apa adiknya sengaja memberi ruang Jeongguk dan Taehyung seperti ini?

Bukankah harusnya Jungkook menganggap kakak kembarnya sebagai saingannya sendiri? atau hanya Jeongguk yang beranggapan demikian?

Tidak, Ggukie. Jungkook memang menganggap kamu—kakak kembarnya sebagai saingan untuk masalah mendapatkan hati Taehyung. Namun ingat perkataanmu waktu itu?

Tapi sorry ya dek. Kayaknya gua ga bisa ngalah masalah ini. Biar nanti Taehyung yang nentuin. Gua ga bakal ganggu lo dan dia, gua harap lo juga lakuin hal yang sama. (Narasi di panel 63.)

Jungkook melakukan apa yang diharapkan sang kakak. Dia akan memberi kakak kembarnya itu kesempatan dan ruang untuk melakukan usahanya. Karena yang terpenting untuk Jungkook, dia sudah melakukan usahanya semaksimal mungkin. Jadi dirinya tidak takut atau menganggap kakaknya sendiri sebagai ancaman. Toh, dia sudah berkata jujur pada Taehyung tentang perasaannya.

“Ini tadi aku udah coba buat sedikit, mau kamu lihat dulu ga?” tanya Taehyung pada akhirnya.

Jeongguk mengambil alih laptop Taehyung. “Coba, gua lihat dulu ya.”

Matanya bolak-balik membaca konsep dan teori yang tertera pada BAB II skripsi Taehyung, kemudian membaca daftar pertanyaan yang sudah dibuat oleh pria itu. Sesekali kepalanya mengangguk ketika membaca. Sepertinya tidak ada masalah yang Taehyung timbulkan ketika tadi membuatnya dalam keadaan panik.

“Sejauh ini udah pas. Buat konsep strategi dan brand image udah aman sih, tapi lo periksa dulu di bagian konsep daya saing. Ini lo buat 5W1H-nya coba ya, tadi gua lihat kayak kurang mendalam jadinya pertanyaan lo di situ.” kata Jungkook pelan dan serius. Berbeda sekali dari dirinya yang biasanya lebih banyak bercanda dan membuat Taehyung kesal.

Taehyung mengangguk-angguk, lalu tangannya menggeser kembali laptop untuk menghadap ke arahnya. Kacamatanya yang sedari tadi dia simpan di dalam case—karena sibuk menangis—kini dia keluarkan untuk kemudian dipakai. Setelahnya Taehyung sibuk dengan pekerjaannya yang sempat membuat geger kedua kakak-beradik kembar itu.

Jeongguk larut dalam situasi menyenangkan ini—memandangi wajah Taehyung yang sangat indah dari samping. Dirinya dulu sering mengagumi wajah indah ini dari kejauhan, ketika di kelas, di lorong fakultas atau saat Taehyung siaran dulu. Mengingat kembali, saat-saat di mana Jeongguk akan berlari menghindari sosok Taehyung setiap kali mereka memiliki kesempatan untuk berpapasan. Kini Jeongguk bahkan bisa berada sedekat ini tanpa harus kabur-kaburan lagi. Meski dirinya yang dulu dan sekarang masih tetap sama, masih suka menganggumi Taehyung dalam sunyi.

Jeongguk menyukai kegiatan ini. Sehingga rasanya waktu berlalu begitu singkat, meski sebetulnya dia sudah melewati beberapa menit hanya untuk memandangi wajah indah milik Taehyung.

Jari-jemari lentik itu berhenti menari-nari di atas keyboard-nya. Kepalanya menoleh sedikit ke arah di mana Jeongguk sedang menatapnya tanpa berkedip. Kemudian Taehyung terdiam, mematung dan menatap balik manik gelap milik Jeongguk untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya dia menangkap kehadiran Jungkook yang berdiri tak jauh dari pintu masuk student lounge.

“Kookie! Kenapa diam di situ?” Taehyung memanggil Jungkook hampir setengah berteriak. Membuat pria yang dari tadi sibuk bermain dalam dunianya sendiri dan terkagum-kagum akan keindahan Taehyung itu tersadar. Jeongguk langsung membuang pandangnya ke arah lain, lalu pura-pura menyambut kedatangan adik kembarnya.

Tangan kanan Jungkook menenteng sebuah cup holder dari salah satu kafe yang tak jauh dari gerbang kampus mereka. Kemudian tangan kirinya menenteng sebuah paperbag yang diduga berisikan beraneka ragam kue ataupun roti.

“Lama, ya? Tadi vending machine di depan kayaknya rusak. Jadi aku sekalian aja ke kafe depan deh.”

Dia taruh segala tentengan itu ke atas meja di sebelah tempat duduk mereka. Karena ruangan ini kosong, jadi Jungkook bisa bebas memakai beberapa meja. Apalagi ukuran mejanya terlalu kecil jika harus dibagi-bagi untuk meletakkan makanan serta laptop Taehyung.

“Ih, kamunya jadi harus jauh-jauh ke sana.”

“Haha, gapapa. Aku yang mau kok, Taehyung. Oh iya, ini jadinya aku beliin hot vanilla crème buat Taetae.” Jungkook mengeluarkan minuman yang dia beli untuk Taehyung dari cup holder, lalu memberikannya kepada pria lucu itu.

Pipi Taehyung bersemu. Tangannya meraih gelas kertas berisikan minuman manis hangat yang diberilan Jungkook. Seakan rasa panas itu menjalar dari dalam cup hingga ke pipinya yang kini sudah bersemu. Pipinya merah hanya karena panggilan sederhana dari mulut Jungkook. Taetae.

“Makasih, Kookie..” katanya, malu-malu.

Jungkook tertawa sebentar, ketika melihat semburat merah itu menghiasi pipi Taehyung dan bagaimana tingkah manisnya ketika berterima kasih.

Hot americano, buat abang nih.”

Dia menyodorkan gelas kertas untuk sang kakak yang entah mengapa lebih banyak diam hari ini. Tangan Jeongguk menyambut benda yang disodorkam oleh adiknya. Lalu dia berterima kasih pelan sekali, hampir seperti sebuah bisikan.

Taehyung berdiri dari tempat duduknya, menghampiri meja sebelah tempat di mana Jungkook meletakkan paperbag berisi beberapa makanan. Matanya berbinar ketika menemukan satu slice strawberry shortcake, lalu menatap Jungkook penuh harap. “Ini buat aku kaaan? Kok kamu tahu aku suka segala macam kue yang ada stroberinya?”

“Hahaha, lupa. Kita pernah bahas ini mungkin?”

Haruskah Jeongguk merasa jadi outsider saat ini? Karena kedua orang itu tampak sangat mengenal satu sama lain, sedangkan Jeongguk—ya mungkin dirinya mengenal adik kembarnya dengan baik, tapi tidak dengan Kim Taehyung.

. . .


. . .

Taehyung sudah kembali ke dalam asramanya lima menit yang lalu. Saat itu hanya Jungkook saja yang mengantarkan pria manis itu kembali hingga masuk ke dalam lift dengan senyuman yang merekah indah. Kakak kembarnya memilih untuk keluar terlebih dahulu dan menunggu sang adik di depan mobilnya.

Punggung Jeongguk bersadar pada mobil Jungkook, lalu kedua tangannya dimasukan ke dalam saku karena udara cukup dingin.

“Loh, kirain lo udah balik duluan?” tanya Jungkook. Dia kaget karena kakaknya ternyata bukannya pergi terlebih dahulu malah menunggu dirinya di depan mobil seperti ini di tengah udara dingin.

“Gua mau ngomong sesuatu.”

“Ngomongin apa bang?” tanya Jungkook.

“Dek.. lo tau kan kalau gua suka sama Taehyung? Gua yakin lo ta—“ kemudian Jungkook sudah keburu menyauti perkataannya. “—Iya, gue tau kok bang. Lo juga tau kan kalau gue deketin Taehyung?”

“Dek, gua gatau kenapa kita bisa kejebak di situasi begini. Lo sendiri tau kan kalau kita ga pernah suka sama orang yang sama dari dulu? Jujur, gua ngerasa ga enak setiap kali kita bertiga—lo, gua dan Taehyung kejebak di satu tempat yang sama. Rasanya aneh, dek. Apalagi pas inget kalau kita punya satu tujuan: dapetin hatinya Taehyung.” Kata Jeongguk panjang lebar.

“Bang, gaada larangan buat gue ataupun lo suka sama Taehyung. Ini masalah hati, gaada yang salah dan aneh. Kita gabisa milih sama siapa kita bakal suka kan? Ya, gue gatau apa yang buat lo khawatir banget, tapi gue mau lo tau satu hal. Gue ga akan ikut campur atau marah kalau lo juga usaha buat deketin dia. Ya, ada rasa sakit sih sejujurnya setiap inget kalau ada cowok lain yang lagi usaha juga buat dapetin hati dia, apalagi orang itu kakak gue sendiri. Tapi ya gue sadar, gue gaada hak apa pun. Gue juga udah janji ga akan ngusik usaha lo, biar nanti Taehyung yang tentuin sendiri hatinya dia buat siapa. Inget perkataan lo waktu itu pas di kamar gue?”

Jeongguk terdiam. Jadi ternyata waktu itu adiknya tidak benar-bnar tertidur.

Dia lihat adiknya tersenyum simpul, kemudian menepuk pundaknya pelan. “Bang, gue sama lo udah sama-sama dewasa. Jadi lakuin ini selayaknya pria dewasa aja. Gue ga akan marah apa pun hasilnya nanti. Malah gue harusnya bahagia dong? Kalaupun Taehyung ga sama gue pada akhirnya, gue tau dia sama orang yang tepat yaitu saudara gue sendiri. Semoga lo juga begitu.”

Andai saja semudah itu. Andai saja merelakan orang yang dikagumi dalam diam selama bertahun-tahun bisa sesederhana itu. Jeongguk mungkin bisa mengatakan dirinya akan baik-baik saja asal Taehyung dan adiknya bahagia. Tapi apa itu semua menjamin kalau nantinya tidak ada rasa sakit yang ditimbulkan oleh permasalahan hati ini?

“Dah, gue mau langsung balik. Lo hati-hati nyetirnya ya bang. Btw, goodluck buat kita.”

Adiknya selalu menjadi orang yang paling tenang dan mudah mengontrol perasaannya. Jungkook memiliki kelebihan dari kepribadiannya itu. Meski dulu dia sering bermasalah karena dianggap banyak orang sebagai anak yang terlalu kalem. Jeongguk tahu, kalau kalemnya Jungkook itu bukan semata-mata tong kosong yang tidak ada artinya. Adiknya itu mencerna situasi, menimbang apa yang harus dilakukan dan mempersiapkan diri untuk segala konsekuensi yang akan dia hadapi ketika mengambil sebuah pilihan. Jungkook tipe manusia yang terorganisir dan tertata sekali, makanya dirinya selalu tenang saat menghadapi suatu masalah. Berbeda dari Jeongguk yang lebih sering gegabah.

Bahkan untuk menghadapi situasi seperti ini adiknya bisa bersikap setenang itu?

Jeongguk luar biasa iri. Padahal sekarang bukan saatnya bagi Jeongguk untuk memupuk rasa iri pada adiknya. Dirinya harus mempersiapkan diri. Mempersiapkan dirinya untuk berperang—berjuang, berusaha mendapatkan hati Taehyung. Karena kini Jeongguk tidak akan memilih jalan mundur atau putar balik. . . .


. . . Author’s note:

hallooo! Harusnya aku update narasi dua hari yang lalu atau kemarin. Tapi sayangnya kondisi kesehatanku lagi ga baik. Radang, batuk, pilek dan flu datang di saat bersamaan, buat aku tepar kemarin huhu. Sekarang aku udah ngerasa mendingan, hidungnya masih meler dan tenggorokan masih agak gatal aja sih. Ku harap kalian tetap sehat ya di mana pun kalian berada! Jangan lupa jaga kesehatan selaluuu~

sampai jumpa di bagian narasi selanjutnya!💜🥰

All the Love, Bae