Identical Twins – 100

Gumusservi (n.) moonlight shining on the water.


. . .

Jimin menggeret Taehyung keluar dari pertokoan. Tangan kirinya repot menenteng kado untuk sang mama, lalu tangan kanannya dibuat untuk menggeret Taehyung.

Matanya menelusuri seluruh sudut lantai di mall ini. Mencari-cari tempat mana yang tepat agar dia bisa mendengar cerita Taehyung secara detail. Dari tadi sahabatnya itu terlalu banyak mengulur waktu, membuat Jimin gemas dan tidak bisa menahan rasa sabarnya lagi.

“Nanti ya, Chim. Habis kamu selesai nyari kado untuk mama-mu.” “Chim, gimana kalau beri satu set alat masak?” “Aduh, Chim aku kebelet pipis nih.”

Padahalkan tinggal cerita saja sembari mereka mengitari beberapa toko tadi. Tapi sahabatnya itu pakai segala acara malu-malu untuk cerita. Padahal ini kan Jimin, orang yang paling tahu hal A-Z yang dimiliki Taehyung.

Kaki mereka berjalan mengitari bangunan besar berwarna putih itu. Selama hampir sepuluh menit hanya perbutar-putar di dalam Hyundai Department Store yang berada di Gangnam-gu, tanpa punya tempat spesifik untuk dikunjungi. Karena awalnya mereka hanya ingin pergi mencari kado untuk Ibunya Jimin saja.

Perut Taehyung keroncongan, tapi tujuan mereka masih belum jelas. Jimin masih mengoceh panjang lebar tentang bagaimana Taehyung yang terlalu mengulur waktu untuk bercerita. Membuat kepala Taehyung pening dan laparnya semakin terasa.

“Jim, ngomelnya bisa ditunda dulu? Aku belum sarapan tau, ini udah jam makan siang pula.” rengek Taehyung.

Baiklah, sahabatnya itu akhirnya luluh. Acara marah-marahnya Jimin tunda dulu sebentar. Lalu kini dia menarik Taehyung untuk memasuki tempat makan siap saji yang bernama 'Le Freak'.

Mereka duduk di kursi paling pojok. Sengaja agar menyendiri dan jauh dari orang-orang, sehingga mereka bisa memiliki privasi untuk berbicara.

Taehyung sudah bahagia dengan kehadiran chicken burger di hadapannya. Lalu anak itu langsung melahap makanannya tanpa peduli kalau Jimin masih menunggu Taehyung untuk mulai bercerita.

Sabar ya, Jim. Biarkan Taehyung mengunyah makananya yang lezat itu. Kamu memangnya tidak kasihan melihat sahabatmu seperti anak kucing yang tidak diberi makan tiga hari seperti itu?

Akhirnya Jimin membiarkan Taehyung sibuk dan bahagia dengan makanannya. Lalu dirinya juga mulai menyantap menu yang sama dengan yang Taehyung beli.

“Jadi apa yang ga kamu ceritain kemarin?” tanya Jimin.

Taehyung mengangkat kepalanya, setelah selama beberapa menit sibuk menunduk untuk menyuapkan makanannya. Kini dia taruh burger berharga itu di piring. Kemudian dia menyesap minumnya, karena tiba-tiba tenggorokannya terasa kering sekali.

“Jungkook bilang suka sama aku..”

Jimin melongo. Harusnya dia tidak kaget, karena memang Jimin sudah tahu bahwa Jeon Jungkook salah satu orang yang jatuh pada pesona sahabatnya. Tapi ini semua di luar ekspektasinya. Dia pikir kalau Jungkook itu tipikal pria yang akan malu-malu untuk mengungkapkan perasaannya, justru Jeongguk yang Jimin kira akan mengatakannya terlebih dahulu.

Mau Jeongguk mengelak dan Taehyung buta akan kenyataan juga Jimin tetap tahu apa yang terjadi. Jimin beberapa kali memergoki Jeon Jeongguk menatap Taehyung tanpa berkedip sama sekali saat di kelas mata kuliah umum. Padahal posisinya saat itu mereka tidak saling kenal—belum berkenalan secara resmi.

Tapi Jimin akan tetap mendukung keputusan sahabatnya. Karena pada akhirnya Taehyung yang memiliki perasaannya. Taehyung yang berhak menentukan siapa orang yang bisa membuatnya bahagia.

“Terus kamu jawab apa? Jadi dia nembak kamu gitu?” tanya Jimin.

Taehyung mengangguk cepat.

Kemudian Jimin bisa melihat senyuman mengembang pada wajah sahabatnya. Taehyung tersenyum, membayangkan kembali rasa deg-degan yang membuat bahagia ketika ingat kalimat yang Jungkook katakan hari itu.

“Aku belum jawab iya atau engga. Kata Jungkook, aku bisa jawab waktu aku yakin sama perasaanku ke dia.” jawab Taehyung.

“Kamu udah yakin sama perasaanmu ke dia? Terus soal Jeongguk yang sempet buat kamu bingung gimana? Dia kan cowok yang di atap kampus kata kamu.”

Taehyung menggeleng. Dia sendiri pun sebenarnya belum bisa memahami perasaannya. Bukan dia ragu di antara Jeongguk atau Jungkook. Bukan itu. Taehyung kini sudah yakin, kalau dia tidak menyukai Jeongguk seperti bagaimana dia menyukai adik kembar pria itu. Yang membuatnya bingung itu adalah perihal waktu. Apa dirinya dan Jungkook tidak terlalu gegabah dan terburu-buru untuk menyatakan perasaan semacam itu?

“Aku suka sama Jungkook. Cuma rasanya pertemuan kami masih terlalu singkat, aku butuh banyak waktu untuk bisa lebih ngenal dia.”

“Taehyung, mau pertemuannya singkat, lama, itu semua ga ngaruh. Namanya perasaan tuh ga bisa dipatokin dari berapa lama waktu yang kamu habisin sama dia. Kalau kamu ngerasa nyaman sama dia, kenapa engga?”

Taehyung terdiam. Merenungi perkataan Jimin yang memang ada benarnya. Taehyung sebenarnya mempersulit perasaannya sendiri, nantinya malah akan membuat dirinya bingung. Padahal sebenarnya segala hal bisa dia lalui dengan cara yang mudah, namun dia buat sulit dengan segala pemikiran-pemikirannya.

Dia mengelak, dia berkata kalau dirinya tidak menyukai Jeongguk. Tapi kenapa beberapa waktu dia dibuat bingung juga oleh sikap dan perkataan Jeongguk?

Apa Taehyung masih membiarkan sisi naifnya mengontrol dirinya?

Pikiran naifnya perihal jatuh cinta pada suara seseorang di atap pada malam tahun baru.

Burger di hadapannya sudah sepenuhnya terlupakan oleh Taehyung. Coke yang tadi dingin juga sudah terasa sama dengan suhu ruang. Nafsu makannya hilang, kini tergantikan dengan pertanyaan yang selama beberapa hari ini dia tolak untuk diambil pusing.

Sebenarnya bagaimana perasaanku ini?

Pikiran Taehyung itu rumit. Begitu rumit.

Ah, pantas saja selama ini kamu tidak pernah berpacaran Taehyung. Mau puluhan orang mengantri juga semuanya akan hilang pada akhirnya, karena kamu sering sekali membuat rumit suatu hal.

“Jimin, kalau kamu terus-terusan nanya begini aku jadi pusing tau. Nanti kalau aku ragu, gimana?” tanya Taehyung.

“Ya berarti kamu belum siap.” jawab Jimin enteng.

Setelah itu Jimin bisa melanjutkan makannya kembali. Sembari sesekali mengalihkan topik pembicaraan mereka, karena kini Taehyung terlihat lebih murung. Senyuman lebar tadi tidak lagi menghiasi wajah tampan sekaligus lucu miliknya. Kini malah kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan ke arah bawah.

“Ih, Taetae, maafin aku. Aku buat kamu pusing, ya? Ya udah gausah dipikirin. Tadi katanya mau kencan sama Jungkook habis ini, masa cemberut begitu?”

Jimin mencolek dagu Taehyung berkali-kali, agar sahabatnya bisa tersenyum lagi.

“Hih, iya iyaaa. Duh, omong-omong soal kencan... Jim aku jadi deg-degan lagi kalau inget iiiih.”

. . .


. . .

Jimin dan Taehyung berpisah di depan Hyundai Department Store Gangnam-gu. Jimin pergi ke stasiun Sanseong di seberang jalan, sedangkan Taehyung pergi ke Starbucks yang hanya perlu berjalan kaki selama beberapa meter saja dari tempatnya berada.

Awalnya Jungkook ingin menghampiri Taehyung ke dalam mall, namun anak itu buru-buru mencegah. Bisa gawat kalau Jungkook bertemu dengan Jimin secara langsung. Hal yang terjadi selanjutnya sudah pasti segala aib Taehyung akan dibongkar oleh sahabatnya itu. Bisa malu seumur hidup nanti Taehyung.

Jungkook dan dirinya kan masih dalam masa pendekatan. Taehyung harus jaga image dan tidak banyak bertingkah.

Padahal dari awal mereka berkenalan anak itu sudah sering sekali mempermalukan dirinya. Dia sendiri yang berkata kalau tidak apa-apa menjadi badut untuk membuat Jungkook senang dan tertawa. Namun sepertinya dia dibuat lupa oleh sensasi jantung berdebar hebat yang ditimbulkan oleh Jungkook akhir-akhir ini.

Ada sebuah bunyi decitan pintu dan lonceng kecil yang tergantung di pintu masuk Starbucks, membuat Jungkook yang duduk tak jauh dari pintu masuk menoleh. Senyumannya otomatis mengembang ketika melihat Taehyung berjalan menghampiri tempatnya duduk.

“Kamu udah pesenin minuman?” tanya Taehyung ketika matanya melihat ada dua gelas minuman di atas meja. Dia buka jaket luarannya, lalu digantungkan pada kursi yang dia duduki.

Jungkook mengangguk. Tangannya menyodorkan segelas iced vanilla cream, kesukaan Taehyung. Ternyata Jungkook mengingat omongan Taehyung perihal minuman kesukaannya. Taehyung tidak begitu suka kopi, karena memiliki masalah dengan lambung dan sulit tidur di malam hari. Sedangkan Jungkook memesan iced americano untuk dirinya sendiri.

“Kamu waktu itu bilang ga terlalu suka kopi, kan? Lebih suka minuman vanilla haha.” jawab Jungkook.

“Kookie...” Taehyung tidak melanjutkan kalimatnya. Hatinya menghangat, ada sebuah desiran familier yang sering timbul ketika dirinya sedang berada di dekat Jungkook atau pria itu melakukan sesuatu yang manis pada Taehyung.

Taehyung suka bagaimana Jungkook mengingat detail kecil tentang Taehyung. Mengingat apa saja hal yang pernah mereka obrolkan bersama. Kalau begini, bagaimana bisa Taehyung tidak jatuh juga pada pesona Jungkook yang manis?

Jungkook masih tersenyum. Lalu bertanya, “Aku kenapa, hum?”

Tamatlah riwayat Taehyung. Cara bicara Jungkook begitu lembut, tapi ada yang beda dari suaranya hari ini. Terdengar lebih bindeng dan serak. Jungkook juga berbicara dengan Taehyung menggunakan tone suara yang lebih rendah dari biasanya.

“Kamu lagi flu?” Taehyung bertanya balik.

Jungkook tertawa dan mengangguk. Membenarkan pertanyaan Taehyung tadi.

“Kok kamu tau?”

“Suara kamu bindeng, terus juga serek.” jawab Taehyung.

“Hahaha, iya. Aku sering begini kalau kena udara dingin. Gampang kena flu dan bisa sembuh agak lama. Terakhir kali waktu pesta malam tahun baru, aku hampir seminggu kena flu.”

Pesta malam tahun baru katanya.

Jadi Jungkook juga dateng ke acara itu?

Namun Taehyung menolak untuk bertanya lebih lanjut lagi. Dirinya langsung menyibukkan diri dengan menyesap minuman yang sudah dipesankan Jungkook.

Matanya terpejam, lalu kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Menandakan kalau dirinya senang dengan minuman kesukaannya itu. Membuat Jungkook harus menahan gemas melihat tingkah laku pria dewasa yang tetap terlihat menggemaskan itu.

“Hari ini ingin ke mana?” tanya Taehyung semangat.

. . .


. . .

Jungkook memarkirkan mobilnya tak jauh dari sungai yang berjarak beberapa meter di depan mereka.

Matahari sudah terbenam sejak beberapa jam yang lalu. Langit sudah tidak lagi berwarna biru terang, melainkan gelap. Lampu jalanan, lampu taman dan lampu gedung-gedung pencakar langit kini sudah menyala, menggantikan peran matahari untuk memberi cahaya di bumi pada malam hari.

Taehyung keluar dari mobil Jungkook dengan riang. Jungkook pun ikut menyusul pria manis itu untuk keluar dari mobilnya. Keduanya bersandar pada kap mesim mobil, menikmati pantulan cahaya kota dari genangan air sungai yang tenang. Kelap-kelip dari lampu kota tarpantul cantik di atas air, membuat Taehyung tersenyum.

“Hah, indah banget. Udah lama aku pengin nikmatin suasana kota begini, tapi skripsi emang nyita waktu belakangan ini.” kata Taehyung.

Jungkook mengangguk mengerti. “Kamu seneng?”

“Jelaslaah. Makasih ya untuk hari ini, Kookie.”

“Hari ini kan belum berakhir, Tae. Hahaha. Ucapin makasihnya waktu aku anterin kamu pulang ke dorm aja, okay?”

Sejak siang menghabiskan waktu mengelilingi kota Seoul. Dari satu tempat ke tempat yang lain, minum vanilla cream di Starbucks. Membeli makanan Birdie dan Yeontan, lalu membelikan kalung sepasang untuk kedua anak bulu itu. Berjam-jam di kafe puppies meski yang dipesan oleh Taehyung adalah jus stroberi, yang penting dirinya senang bisa bermain dengan anak-anak anjing. Lalu membeli es krim dan churros. Sampai pada akhirnya mereka berakhir di pinggir sungai Han malam ini.

Taehyung menikmati waktu ini. Di mana rasa dingin dari angin yang bertubrukan dengan kulitnya tersamar oleh rasa hangat di pipi. Tangannya dia sandarkan pada kap mobil, lalu Taehyung sedikit tersentak oleh sengatan rasa dingin. Jungkook yang melihat itu langsung tertawa dan mengambil tangan Taehyung itu.

“Sini, dia sembunyiin di sini aja biar ga kedinginan.” kata Jungkook. Lalu tangan Taehyung dituntun untuk masuk ke dalam saku jaketnya yang hangat. Tidak, Jungkook tidak menggenggam tangannya Taehyung. Dia juga masih tahu diri dan batasan. Jadinya hanya tangan kiri Taehyung saja yang menjadi penghuni saku jaket Jungkook.

Semburat merah pada pipi Taehyung sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Kini Taehyung hanya bisa menunduk malu, namun menikmati momen manis antara dirinya dan Jungkook. Hanya ada mereka berdua di tepi sungai dengan mobil Jungkook yang terparkir.

Hanya ada Jungkook, Taehyung dan pantulan cahaya bulan yang menghiasi sungai Han. Terang dan cantik, bulan malam ini bersinar sempurna. Meski hanya pantulannya saja yang dapat Taehyung lihat saat ini.

Taehyung malu dan deg-degan, jadinya hanya bisa menunduk atau memandang lurus ke arah sungai. Dia tidak berani menatap mata Jungkook, ngeri kalau nanti benar-benar bisa terkena serangan jantung.

Saat Jungkook sudah menaiki anak tangga menuju lantai paling atas dari sebuah gedung tinggi, Jeongguk bahkan belum mengambil langkah untuk anak tangga pertama di paling bawah. Bukankah itu artinya Jeongguk sudah kalah telak?

. . .


Author's note: Hallo, manteman! aku kayaknya bakal update banyak narasi di cerita ini. Kalian pribadi suka baca banyak narasi ga sih? Terus biasanya suka yang di bawah 2k words atau gimana? hehehe. Aku mau buat lebih panjang takut kalian bosan, huhuhu. Feel free buat ngasih saran ke aku ya guys pokoknya~ Btw, aku sekarang lagi sering banget update subuh-subuh wkwkwk. Dah, sekian curhat dari aku. Sampai nanti!

All the Love, Bae.