begellataes

Platonic

#Platonic Love

Aduh, aduh, Taehyung harus bersembunyi ke mana?

Malu sekali rasanya. Jarinya bertindak sebelum otaknya bisa bekerja dengan benar, bisa-bisanya juga ia langsung mengirim kata-kata itu. Ingin sembuhyi di bawah kolong meja, tapi badan dia dua kali lebih besar dari meja kopi kecil yang ada di depannya. Ingin bersembunyi di balik punggung Jungkook, nanti malah nyaman—eh, maksudnya, nanti sama saja bohong dong, kan dia sedang malu pada Jungkook.

Harusnya kan dia tidak perlu malu dan salah tingkah, toh sudah bertahun-tahun mereka berdua berteman dekat dan saling puji, bahkan saling menjaga. Tapi tidak tahu kenapa akhir-akhir ini jantungnya bekerja sesuai kehendak. Pipi dan telinganya juga suka memerah di kondisi tertentu saat dirinya berada di dekat Jungkook, atau misalnya Jungkook menatapnya lekat-lekat.

Seseorang tolong jelaskan pada Taehyung ya kenapa dia bisa begitu. Taehyung merasakan perasaan aneh, asing namun familiar. Jadi rasa yang asing tetapi familiar tuh bagaimana, teman-teman?

Rasanya seperti perasaan Taehyung kepada Jungkook~

Tahu tidak? Tadi setelah Taehyung mengirim kata-kata itu dan Jungkook langsung membaca, rasanya Taehyung ingin ngompol di celana. Gugup sekali, lebih gugup dari pada ulangan sejarah korea secara lisan waktu ia sekolah dulu. Mana Jungkook langsung menatap Taehyung dengan tatapan yang sulit diartikan, tambah paniklah bocah itu. Kalah kabut matanya langsung menghindari tatapan Jungkook—begitu pula sebaliknya.

Suasana kamar Taehyung yang tadinya penuh dengan candaan dan tawa antara dirinya dan Jungkook, berubah menjadi dingin dan canggung. Taehyung benci menyadari ada sebuah benang tipis yang membatasi mereka berdua, benang yang kelihatannya begitu tipis namun tetap bisa menyayat kulitnya ketika ia mencoba untuk menyentuh benang itu secara paksa. Taehyung benci memikirkan kalau sesuatu memang terjadi di antara dirinya dan Jungkook.

“Ehm. Kamu kenapa diam? Perasaan tadi habis memuja-mujiku di chat. Apa gamau bilang langsung aja?” Kata Jungkook, dirinya berusaha memecah keheningan yang terjadi

“Tak apa-apa, aku cuma takut kalau ka—ah, tidak, tidak, lupain aja.”

“Kenapa Taehyung?”

“Gapapaaa.”

“Ah, aku tau, kamu pasti lapar ya? Makanya bete begitu.”

“Siapa yang bete?” Tanya Taehyung, nadanya jauh lebih tenang dan manis seperti biasanya

“Kamulah gembul, ayo kita pesan makanan saja supaya perut gembulmu terisi, jadinya tidak bete lagi.”

“Jungkook, aku ga bete.”

Namun Jungkook tidak mendengar rengekkan Taehyung, karena diam-diam ia juga berusaha menutupi rasa canggungnya.

Malam itu, untuk yang kesekian kalinya Jungkook dan Taehyung berdusta. Berdusta pada perasaannya dan kenyataan yang terjadi. Mereka berpura-pura tidak sadar—atau lebih tepatnya menolak untuk sadar—akan perasaan mereka. Mereka berdusta dan menutupi perasaannya itu dengan dalih, ’kami itu saling menyayangi sebagai sahabat. Yang namanya menyayangi itu tidak berarti memiliki perasaan untuk saling memiliki bukan?’.

Tapi mau sampai kapan mereka terus-terusan lari dan bersembunyi di balik status persahabatan itu?