Identical Twins — 82.

Taehyung begitu membenci banyak hal saat ini.

Taehyung membenci kenyataan kalau kedua matanya itu tidak berfungsi dengan normal. Sehingga, di setiap waktu dia membutuhkan alat penunjang untuk dapat melihat dengan baik: kacamata atau lensa kontak.

Dirinya juga membenci pilihannya untuk memakai kacamata ke acara malam tahun baru kampusnya waktu itu. Dari sekian juta kemungkinan yang dapat terjadi, mengapa harus malam itu dia dipertemukan dengan pria bersuara indah itu?

Mengapa kacamata miliknya harus terjatuh, membuat penglihatannya yang buruk menjadi semakin buruk malam itu? Mengapa juga harus Jeon Jeongguk? Di saat Taehyung sudah terlanjur jatuh ke dalam pesona adik kembar pria itu.

Sebuah ketukan bolpoin pada meja di hadapan Taehyung kembali menyadarkan anak itu pada kenyataan. Langit mendung di luar jendela berukuran besar—bahkan setinggi ceiling perpustakaan—di hadapan Taehyung kini sudah dihiasi oleh awan mendung. Terakhir di ingatannya, langit di luar sana masih terlihat cerah. Berarti sudah cukup lama anak itu melamun, bukan?

Pikirannya berkecamuk. Sebuah kebiasaan bagi seorang Kim Taehyung untuk memperumit jalan pikirannya sendiri. Hal-hal yang sebetulnya cukup sederhana akan menjadi pelik ketika berhasil masuk ke dalam pikirannya. Terkadang Taehyung juga tidak habis pikir dengan dirinya sendiri.

Jeon Jeongguk sedang menatapnya sambil mengerutkan alis. Bingung, sebenarnya jiwa Taehyung sedang menjelajah ke belahan dunia bagian mana? Sampai-sampai panggilannya sedari tadi diabaikan oleh pria manis itu.

“Kim Tae, lo okay?” Tanya Jeongguk

Secara teknis, Taehyung baik-baik saja. Dia tidak sedang demam, atau mengalami penyakit tertentu. Tapi pikirannya tidak baik-baik saja saat ini. Berisik sekali, sungguh, Taehyung dibuat pusing dengan pikiran-pikirannya yang begitu rumit.

Pikiran rumit bagi Taehyung: mengira kalau dirinya jatuh dalam pesona Jeon Jungkook yang manis, namun bayang-bayang pria malam tahun baru yang diduga kuat adalah Jeongguk—kakak kembar Jungkook—kembali menghantui pikirannya.

Perasaannya terombang-ambing, menyelam—tenggelam dalam lautan dilema. Perasaan tidak menentu yang membuat Taehyung uring-uringan dan sulit tidur di malam hari. Iya, sulit sekali tidur karena dia mulai mempertanyakan dirinya sendiri.

Sebenarnya aku sungguh suka sama Jungkook ga sih?

Tapi, kenapa jantungku rasanya mau lompat setiap kali ingat cowok di malam tahun baru itu?

Kim Taehyung, kamu kenapa jadi murah begini? Bahkan menentukan perasaanmu untuk satu orang saja kamu ga mampu?

Taehyung memang menyukai cara Jungkook yang selalu manis memperlakukannya. Dia suka senyuman simpul yang terukir di wajah tampan Jungkook setiap kali Taehyung berbicara. Taehyung juga suka tatapan teduh milik Jungkook yang begitu menenangkan, meski terkadang bisa menarik Taehyung ke dalam jurang pesona Jeon Jungkook semakin dalam.

Bisa saja segalanya menjadi sesederhana itu. Ya, memang bisa.

Namun, Taehyung yang memiliki kemampuan 0 atau nol besar untuk mengenali perasaannya sendiri kini memperumit semuanya.

“K-kenapa? Sorry, aku lagi ga fokus Jeon.” Jawab Taehyung terbata-bata.

Jeongguk hanya bisa menggeleng keheranan, lalu fokus pandangannya kembali pada buku di hadapannya. Sebenarnya beberapa saat lalu dirinya sedang berpura-pura meminta bantuan Taehyung, tapi melihat respon yang tidak memuaskan itu membuat Jeongguk mengurungkan.

Jari telunjuknya sibuk menggarisi kata-kata yang hendak ia ketik ke dalam dokumen skripsinya. Wajahnya kini terlihat begitu serius, Taehyung yakin begitu. Rambut Jeongguk bergelombang cenderung keriting, berbeda dengan rambut Jungkook yang lurus. Fitur wajahnya jauh lebih tegas, bisa dilihat dari rahangnya yang sangat menonjol.

Awalnya, Taehyung berpikir kalau Jungkook dan Jeongguk semirip itu. Selain rambutnya, akan sangat mustahil bagi orang lain bisa membedakan kedua saudara kembar itu. Namun, kini Taehyung sadar bahwa dugaannya salah.

Kedua pria itu berbeda. Ah, kenapa baru sadar ya?.

Tatapan mata Jungkook jauh lebih tenang dan teduh, di saat Jeongguk menatap lawan bicaranya lebih tegas—dijamin kalian akan terkunci oleh sorot mata Jeongguk, hanya bisa membatu. Suara Jungkook sedikit lebih lembut dengan intonasi yang cenderung tenang, sedangkan Jeongguk sedikit lebih berat dari Jungkook. Lalu, Jungkook memiliki tahi lalat di bagian hidungnya, sedangkan Jeongguk di bagian bawah bibirnya.

Ah, andai saja malam itu Taehyung bisa melihat dengan jelas. Pria yang membuatnya berdesir hangat di bagian dada dan menjalar hingga ke pipi itu yang mana: bertahi lalat di hidung atau bawah bibir?

“Mau sampai kapan ngeliatin gua aja, Kim Tae?”

Taehyung tersentak dari kegiatannya memperhatikan detil kecil pada wajah Jeongguk. Buru-buru tangannya sibuk membuka halaman demi halaman buku di hadapannya, namun sayangnya Taehyung tidak sadar kalau buku itu berdiri di atas meja dalam keadaan terbalik.

Yha, ketahuan sudah kalau Taehyung tidak sungguh-sungguh membaca.

Ketahuan sudah. Mampuslah, Kim Taehyung. Tindakan bodohnya itu tertangkap basah oleh Jeongguk yang melirik sedikit dari sudut matanya. Sepersekian detik, sebelum akhirnya wajahnya kembali fokus. Menunduk dan menatap buku serta keyboard laptop di hadapannya.

Namun jejak senyuman itu masih tertinggal pada wajah Jeongguk.


Empat jam penuh di dalam perpustakaan tidak menghasilkan apa pun untuk Taehyung. Skripsinya masih stuck pada hasil akhir. Konsep yang kemarin disarankan oleh prof. Han tiba-tiba saja tidak bisa dia ingat sepanjang waktunya berada di perpustakaan.

Jeongguk, pria yang duduk di hadapannya bahkan sudah mondar-mandir berkali-kali. Menyusuri rak demi rak untuk menemukan beberapa buku referensi tambahan. Namun Taehyung lebih banyak menghabiskan waktunya dengan melamun.

Jatuh cinta memang terkadang bisa menganggu kinerja otak dan menurunkan konsentrasi seseorang.

Tapi, memangnya Taehyung jatuh cinta pada siapa?

“Lo lagi kenapa, sih? Kayaknya hasil berjam-jam di perpus hari ini sia-sia buat lo, ya?” Jeongguk bertanya, wajahnya terlihat biasa saja. Seakan-akan tidak sadar kalau dia itu salah satu penyebab hari Taehyung menjadi terlewatkan dengan sia-sia. Tentu, dia tidak akan sadar.

Taehyung memutar bola matanya, merasa sedikit sebal dengan pernyataan Jeongguk yang sebenarnya valid. Tapi kan tidak perlu diperjelas seperti itu, bukan?

Mereka kini sedang berjalan keluar dari perpustakaan umum yang tak jauh dari rumah Taehyung. Kaki mereka melangkah beriringan menuju parkiran kendaraan di tengah angin kencang dan udara dingin di awal bulan februari. Lalu langkah kaki Taehyung berhenti, ketika dirinya sadar apa yang terjadi.

“JEON JEONGGUK, KAMU MAU BUAT AKU MATI KEDINGINAN? SERIUS??? NAIK MOTOR DI TENGAH UDARA DINGIN?”

Mata Taehyung melotot, protes akan ide gila Jeongguk yang mengajaknya pergi ke tempat makan menggunakan motor. Taehyung pikir bocah menyebalkan ini membawa mobilnya, seperti pertemuan mereka yang sebelumnya.

Jeongguk menarik pelan tangan Taehyung. Dia tidak menjawab teriakan Taehyung barusan, malah tangannya dengan aktif memasangkan helmet pada kepala Taehyung. Membuat pria manis itu membeku di tempat.

Taehyung bisa merasakan deru napas Jeongguk. Taehyung bisa melihat lebih jelas ukuran tahi lalat di bawah bibir Jeongguk. Pria itu kini berjarak terlalu dekat dengan Taehyung selama beberapa detik. Aduh, sebentar, Taehyung tidak sadar kalau dirinya dari tadi sedang menahan napasnya.

“Berisik, kan baju lo juga tebal hari ini. Kalau telapak tangan lo dingin, ya nanti peluk gua aja. Masukin ke dalam jaket gua.” jawab Jeongguk enteng.

Anak itu ingin protes sekali lagi, namun Jeongguk sudah berada di atas motornya. Taehyung hanya bisa menghela napasnya, lagi. Lalu dirinya ikut duduk di jok bagian belakang motor Jeongguk. Tangannya sibuk memeluk tubuhnya sendiri, Taehyung tidak menuruti saran Jeongguk untuk memeluk tubuh pria itu.

Namun hanya bertahan beberapa saat saja, sampai akhirnya Jeongguk mempercepat laju motornya. Tubuh Taehyung hampir terhuyung ke bagian belakang, untung saja anak itu tidak jatuh, lho. Dengan berat hati tangannya langsung buru-buru melingkari perut Jeongguk.

Ada tamparan halus dari angin yang masuk melalui sela-sela helm yang dia gunakan. Awalnya, Taehyung pikir wajahnya akan kaku dan membeku akibat udara dingin. Nyatanya bukan itu yang terjadi. Kini aroma mint yang menyegarkan menyeruak masuk ke indera penciuman Taehyung, aroma parfum Jeongguk kini terasa begitu jelas menyapa tanpa permisi.

Saat itu, Jeongguk tersenyum tipis sekali dari balik helm-nya.


Saat memasuki komplek perumahannya, jam sudah menunjukan pukul 8:30 malam. Ponselnya habis daya dan Taehyung bahkan tidak tahu kalau keluarganya sudah pulang ke rumah atau belum.

Hari ini sang ibu dan ayah memiliki agenda ke rumah kerabatnya di pinggiran kota Seoul. Taehyung tidak bisa ikut karena sudah janji terlebih dahulu dengan Jeongguk.

Kalau kedua orangtuanya belum pulang, bisa gawat. Bisa-bisa Taehyung mati membeku karena harus menunggu orangtuanya pulang di depan gerbang rumah. Dari jauh Taehyung bisa melihat kalau lampu halaman rumahnya menyala, berarti aman. Kemungkinan besar kedua orangtuanya sudah pulang.

Lalu matanya kini fokus pada mobil sedan hitam yang terparkir di depan gerbang rumahnya. Duh, Taehyung seperti kenal dengan mobil itu. Tapi mobil siapa ya?

Siapa..?

Dia, Jeon Jungkook, sedang berdiri menyandar pada pintu mobilnya. Tangannya dimasukkan ke dalam saku coat-nya. Sepertinya Jungkook belum sadar.

Pria itu belum sadar,

lalu kemudian motor Jeongguk berhenti tepat di depan mobil Jungkook yang terparkir itu. Tepat di depan mata Jeon Jungkook juga.

Jeongguk melepaskan helm yang dipakai, lalu menyapa adik kembarnya dengan santai. “De, ngapain di sini malem-malem?”

Taehyung hanya bisa turun dari motor Jeongguk dengan keadaan canggung. Dia lepas helm yang tadi dipinjamkan oleh Jeongguk, lalu matanya dengan ragu menatap mata Jungkook.

Taehyung bingung, tidak bisa membaca ekspresi atau emosi apa pun pada sorot mata Jungkook. Tapi kenapa Taehyung rasanya gemetar dan deg-degan sekali?

Jantungnya seperti mau melompat keluar dari dalam tubuhnya. Saat ini dirinya seperti sedang dipergoki berselingkuh oleh sang pacar yang mana adegan itu tidak cocok untuk disamakan dengan keadaan mereka bertiga.

“Oh, kalian habis keluar berdua?” tanya Jungkook, dia tidak menjawab pertanyaan kakaknya. Mata Jungkook hanya terarah pada Kim Taehyung saat ini, meminta penjelasan lebih lanjut dari pria manis itu.

“A-ah, aku dan Jeongguk habis ke perpustakaan umum. Lalu pulangnya makan malam sebentar. Kamu kenapa tiba-tiba ke sini?” Tanya balik Taehyung.

“Aku tadi kirim pesan ke kamu, tapi ga ada balasan. Terus ga lama hp kamu mati.”

Taehyung mengangguk kecil, mengisyaratkan dirinya mengerti dengan jawaban Jungkook.

Lalu dia melihat Jungkook mengambil beberapa langkah maju. Menghampiri dirinya yang masih membatu di tempat yang sama. Kakinya lemas untuk sekadar menghampiri Jungkook juga, tangannya bergetar, bibirnya kaku tidak bisa dibuka.

“Aku cuma mau ngasih ini, kok,” jeda sebentar, Jungkook memberikan sebuah buku hitam dengan ornamen bintang dan bulan di sampulnya. Tangan Jungkook lalu mengusap puncak kepala Taehyung. Lalu dia kembali berkata, “Good night, Taehyung. Aku pulang, ya?”

Taehyung hanya bisa mengangguk.

Dirinya dibuat lupa lagi kalau ada orang lain di antara mereka berdua. Ada orang lain yang diam-diam merasa sakit terjebak di situasi ini dengan kembarannya sendiri. Takdir iseng macam apa yang sebenarnya mempermainkan mereka?

Jeongguk masih di sana. Masih duduk di atas motornya tanpa memperhatikan Taehyung ataupun adik kembarnya. Dia hanya diam, pandangan matanya diarahkan ke arah lain. Terus begitu sampai akhirnya mobil Jungkook meninggalkan komplek perumahan Taehyung.

Matanya Taehyung kini menunduk, menatap lesu ke buku di genggamannya.

Why We Sleep. Unlocking the Power of Sleep and Dreams, buku yang tadi diberikan oleh Jungkook kini berhasil merampas seluru perhatiannya.


All the Love, Bae